Sabtu, 14 Juni 2008

28 TAHUN BAATH BERKUASA, IRAK MASIH DICENGKERAM EMBARGO

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 17/7/96 (ANTARA) - Pada saat Partai Baath merayakan 28 tahun kekuasaannya tanggal 17 Juli, harapan pemerintah Irak untuk meringankan penderitaan rakyat dari cengkeraman embargo PBB masih belum terjangkau setelah hampir enam tahun setelah serbuan tentaranya ke Kuwait.

Selama "Revolusi Putih" tanggal 17 Juli 1968 dan beberapa bulan setelahnya, dan sejak berdirinya tanggal 7 April 1947 Partai Sosialis Arab Baath secara teratur menilai kemajuan perjuangan dan rencananya bagi masa depan Pan-Arab serta kongres nasional dan regional yang diselenggarakan cabang-cabangnya di negara-negara Arab lain.

Partai ini berpendapat "sosialisme adalah prasyarat bagi kebebasan, persatuan dan kelahiran kembali dunia Arab".

Partai Baath berjuang untuk mewujudkan kepercayaannya, sebagaimana keperluan setiap tahap tuntutan, di manapun partai tersebut memiliki sarana dan kapan saja mungkin mewujudkannya di negara-negara Arab, demikian antara lain isi buku "The 1968 Revolution in Iraq" terbitan Ithaca Press, London, 1979.

Oleh karena itu, isi dan sasaran revolusi yang dipimpin oleh partai tersebut di setiap negara Arab antara lain memberi sumbangan kepada demokratis dan revolusi persatuan Pan-Arab.

Salah satu tugas tugas utama Revolusi 17 Juli 1968 di Irak, kata buku itu yang berisi laporan politik Kongres Kedelapan Partai Sosialis Arab Baath di Irak Januari 1974, ialah untuk menerapkan program tersebut di semua lapisan masyarakat Irak.

Sebelumnya, terdapat tiga perubahan rejim di Irak, 14 Juli 1958, 8 Februari 1963 dan 18 November 1963, dan masing-masing memiliki dampak sendiri-sendiri serta menambah rumit keadaan yang memang sudah pelik.

Revolusi 1968, katanya, mewarisi sistem negara yang terbentuk selama pemerintahan Bani Usman (Otooman di Turki), melewati pendudukan Inggris dan monarki bojuis serta feodal, sampai kediktatoran sayap kanan.

Sebelum memangku jabatan, partai itu tidak memiliki piranti untuk mengganti sistem negara, sebagaimana yang terjadi dalam revolusi di China.

Keseimbangan kekuatan dalam masyarakat, keadaan intern partai dan kondisi di negeri tersebut khususnya, di Timur Tengah dan dunia pada umumnya memerlukan tindakan "yang berani" dalam pemerintahan.

Revolusi 1968, kata buku itu, tak dapat semata-mata melucuti sistem yang ada dan memperkenalkan sistem baru.

Penghapusan seluruh sistem yang ada waktu itu atau melakukan perubahan radikal akan mengakibat kerusuhan dan kerusakan. Semua kondisi tersebut memaksa Partai Baath mencari jawaban yang tepat.

Kegiatan politik Partai Baath, baik sewaktu berperan sebagai kekuatan bawah tanah maupun dalam mengemban tanggung jawab revolusi, ditentukan oleh beberapa faktor.

Pertama adalah kondisi pokok partai, baik di tingkat regional maupun Pan-Arab; yaitu integritas ideologi, besarnya persatuan organisasinya dan efisiensi pemimpinya di semua tingkat.

Faktor lain ialah hubungan partai itu dengan rakyat, kemampuannya menggerakkan mereka dengan tolok-ukur keyakinan dan rasa hormat, kekuatan organisasi serta moril dalam angkatan bersenjata, dan hubungannya dengan kekuatan politik lain di dunia Arab serta dunia luar.

Selama bulan November 1963 sampai 17 Juli 1968, partai tersebut mengalami pukulan berat berupa perpecahan di dalam tubuhnya dan kegagalan pemerintah di Irak serta Suriah.

Dirundung embargo

Kini setelah 28 tahun berkuasa, partai itu menghadapi tugas meringankan penderitaan rakyatnya akibat cengkeraman embargo dagang dan minyak PBB, yang dijatuhkan sejak serbuan tentara Irak ke Kuwait bulan Agustus 1990, kendati sinar terang ke arah peredaan sanksi sudah merebak.

Karena dituduh berusaha menipu PBB, penerapan segera persetujuan minyak untuk pangan Irak-PBB tak terwujud ketika awal bulan Juli Amerika Serikat memveto pengesahan persetujuan itu di PBB.

Berdasarkan persetujuan tersebut Irak dapat menjual minyak selama enam bulan seharga dua miliar dolar AS untuk membeli makanan dan obat buat rakyatnya, membayar ganti rugi kepada Kuwait dan membayar semua operasi PBB di negeri itu.

Dalam pukulan kedua terhadap Irak, pemimpin Komisi Khusus PBB Urusan Perlucutan Senjata Irak (UNSCOM), Rolf Ekeus, menuduh Baghdad masih memiliki antara enam dan 16 rudal jarak jauh yang dapat digunakan menghantar hululedak kimia dan biologi.

Amerika Serikat, menurut seorang diplomat Arab yang dikutip AFP di Teluk, pasti merasa senang dengan hasil temuan Ekeus, dan dihalanginya rencana pembagian makanan yang diajukan Baghdad menambah rumit masalah tersebut.

Ekeus menyatakan di Kuwait bahwa sebagian rudal itu "tak dijelaskan secara memuaskan" dan pemerintah Irak "mungkin menyembunyikan sesuatu seperti enam atau 16 rudal".

Belakangan Baghdad menyebut Ekeus "badut" dan menyatakan ia mesti dipecat dari UNSCOM.

Harian Babel, yang dikutip AFP, menyatakan, "Pemimpin UNSCOM itu bersikap berbeda tergantung atas apakah ia berada di Baghdad, Manama atau New York setiap kali tanggal sudah dekat, setiap 60 hari, bagi Dewan Keamanan untuk meninjau semua sanksi atas Irak."

Babel dilaporkan juga mengulangi tuduhan Irak bahwa Ekeus "bekerja untuk dinas intelijen AS" dan mengecam Dewan Keamanan karena tidak memecat dia dengan dasar "pengkhiatan dan pelanggaran hukum internasional".

Berdasarkan resolusi yang disahkan pada akhir Perang Teluk, UNSCOM harus menjelaskan bahwa Baghdad telah menghancurkan semua senjata penghancur massalnya sebelum embargo minyak PBB dicabut.

Namun tanggal 20 Mei tahun ini dicapai persetujuan yang mengizinkan Baghdad mengekspor minyak seharga dua miliar dolar AS setiap enam bulan di bawah penyeliaan ketat PBB untuk membeli makanan dan obat.

Utusan Irak di PBB Amir Al-Anbari menyerahkan rencana pembagian makanan setelah 47 halaman, bagian terpenting persetujuan itu, kepada sekretariat PBB akhir bulan lalu.

Dokumen tersebut, yang juga memiliki lampiran setebal 500 halaman, diteliti oleh berbagai departemen PBB sebelum disampaikan kepada Sekretaris Jenderal Boutros Boutros-Ghali.

Namun Duta Besar AS Madeline Albright awal Juli menyatakan bahwa Baghdad "sekali lagi berusaha mempermainkan peraturan".

Meskipun Rusia dan Perancis menuduh AS campurtangan, Albright mengatakan rencana itu ditujukan untuk memberi pemerintah Irak kekuasaan atas mayoritas suku Kurdi di bagian utara negerinya dan berusaha "mengubah persetujuan tersebut menjadi peredaan sanksi lebih besar lagi".

Menurut seorang pejabat AS, rencana itu meliputi "usul untuk mengimpor komputer, alat telekomunikasi, peralatan pengeboran minyak, suku cadang helikopter, peralatan yang dirancang untuk membangun prasarana, dan bukan menyediakan obat serta makanan buat rakyat". (17/07/96 10:28)

Tidak ada komentar: