Jumat, 06 Juni 2008

AS BERMAKSUD TIKAM "ULUHATI EKONOMI" IRAN

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 7/8/96 (ANTARA) - Amerika Serikat, yang menghadapi penentangan dari Eropa dalam upayanya "menghukum" Iran dan Libya, bermaksud menikam "uluhati ekonomi" Teheran dengan mensahkan peraturan yang mengancam sanksi atas perusahaan asing yang menanam modalnya dalam industri minyak dan gas Iran.

Presiden AS Bill Clinton hari Senin (5/8) menandatangani rancangan peraturan untuk memperketat sanksi atas perusahaan-perusahaan non-AS yang menanam modal lebih dari 40 juta dolar AS per tahun dalam industri minyak atau gas di Iran atau Libya.

Tindakan tersebut dapat membuat para penanam modal asing "memutuskan untuk menunggu dan melihat perkembangan yang akan terjadi", meskipun dampak jangka pendeknya diduga takkan segera terlihat.

Iran, penghasil minyak terbesar kedua dalam Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) setelah Arab Saudi dan mengandalkan 80 persen penghasilannya dari ekspor minyak mentah, tentu saja bereaksi keras dan memuji Eropa karena menentang aksi AS tersebut.

Sementara itu, Libya menyatakan tindakan tersebut membuktikan sikap egois Amerika akibat kegagalannya memaksa negara-negara lain memperketat sanksi atas Libya.

Tindakan Washington untuk memberlakukan sanksi tercetus setelah kegagalan AS untuk membujuk mitra-mitra Eropa-nya agar ikut dalam embargo ekonomi sepihak atas Iran Juni 1995, setelah Washington menuduh Teheran menaja terorisme.

"Strategi ini mungkin takkan memiliki akibat jangka pendek, tapi boleh jadi akan mengakibatkan dampak psikologis buruk atas perusahaan-perusahaan asing yang sudah ragu untuk menanam modal di Iran," kata seorang wakil perusahaan Eropa di Teheran kepada AFP.

Selama ini embargo ekonomi Amerika Serikat atas Iran tidak menimbulkan dampak besar dan Teheran terus menerima sebagian besar suku cadang bagi industri minyaknya dari perusahaan-perusahaan Eropa.

Embargo Amerika Serikat itu malah membuka peluang bagi perusahaan Perancis, Total, untuk menggantikan perusahaan Amerika, Conoco, Juli tahun lalu guna menangani persetujuan senilai 600 juta dolar AS guna mengembangkan ladang minyaknya di Siri.

Sekarang Washington tampaknya tak ingin negara ketiga memperoleh keuntungan dari kekosongan yang ditinggalkan perusahaan-perusahaan Amerika.

Amerika Serikat juga semakin prihatin karena Iran telah membuka sektor minyaknya buat perusahaan asing.

Melanggar

Oleh karena itu, Departemen Luar Negeri AS mengulangi seruannya kepada perusahaan-perusahaan Eropa agar bergabung dalam upaya mengucilkan pemerintah anti-Barat di Teheran dan Tripoli, dan menyatakan tindakan tersebut akan membebaskan mereka dari sanksi Washington.

Namun upaya AS itu mendapat penentangan keras dari Inggris, Perancis, Jerman, Italia, Swiss, Rusia, Norwegia, Australia, dan Jepang.

Negara-negara Eropa menyatakan peraturan AS itu melanggar persetujuan dagang internasional dan berikrar akan membalas tindakan Washington tersebut.

"Sekarang, tak ada yang dapat mencegah kami menerapkan hukum Amerika," kata jurubicara Departemen Luar Negeri AS, Nicholas Burns, sebagaimana dilaporkan AFP.

AS, katanya, akan mempertimbangkan pencabutan sanksi atas setiap negara yang memutuskan untuk menerapkan kebijakan lebih keras terhadap Iran.

Dalam upayanya memerangi "terorisme", AS tampaknya malah mengambil jalan yang akan mengakibatkan benturan dengan Eropa.

Seorang pengamat Jerman bahkan berpendapat tindakan Washington tersebut dapat membuat keruh hubungan Amerika-Eropa.

Kampanye pemilu?

Namun di dalam negerinya, dengan menandatangani peraturan baru yang keras tersebut Clinton berusaha menetralisasi lawan-lawannya yang mungkin menggunakan terorisme sebagai topik politik dalam kampanye mereka.

Seorang ahli mengenai Timur Tengah dan terorisme di AS berpendapat, "tak diragukan bahwa peraturan itu dan pemilihan waktu penandatanganannya berkaitan dengan proses pemilihan umum" di AS.

Pemboman anti-Amerika tanggal 25 Juni di Arab Saudi, ledakan misterius pesawat TWA nomor penerbangan 800 tanggal 17 Juli, dan pemboman saat berlangsungnya Olimpiade Atlanta serta-merta membuat teroris jadi pusat keprihatinan rakyat Amerika.

Dengan sisa waktu sekitar tiga bulan sebelum pemilihan umum tanggal 5 November, Clinton -- dari Partai Demokrat -- tak ingin kelihatan kurang bersemangat dibandingkan Partai Republik dalam menjatuhkan sanksi atas kedua negara yang memang tak dihargai oleh rakyat Amerika itu.

Kelompok Republik, terutama saingan Clinton, Bob Dole, telah berusaha untuk tidak memanipulasi kejadian-kejadian tersebut untuk tujuan politik.

Kedua pesaing itu malah telah memperlihatkan sikap mengekang diri.

Namun celah mulai muncul dan terorisme dapat dengan cepat muncul menjadi topik kampanye.

Jurubicara Dewan Perwakilan Rakyat AS, Newt Gingrich, dilaporkan telah melontarkan tuduhan bahwa Gedung Putih samasekali tak mempunyai strategi dalam memerangi terorisme, baik di dalam maupun di luar wilayah AS.

Clinton tampaknya menggunakan kesempatan ini untuk mendahului Partai Repulik.

Namun tindakan Clinton tersebut hanya merugikan perusahaan-perusahaan AS sementara perusahaan asing tidak mengikuti tindakan itu, demikian komentar bekas duta besar AS untuk Jerman, Richard Burt, kepada Reuter.

Burt khawatir tindakan Clinton tersebut menjadi bumerang dan merupakan kemunduran jika pertikaian dengan Eropa tak terkendali lagi dan politik dalam negeri AS malah bergolak.

Sementara itu Norwegia meragukan keefektivan peraturan sanksi baru AS atas Iran dan Libya, dan menilai suatu gagasan internasional akan memiliki hasil lebih baik.

Clinton, menurut dia, juga memerlukan waktu berbulan-bulan untuk membujuk Eropa agar melakukan "tindakan terpadu" terhadap Iran.

Di Teheran, Iran menuduh Amerika Serikat sebagai negara yang "gila perang" dan memperingatkan bahwa setiap petualangan AS di wilayah tersebut bukan hanya berbahaya bagi Amerika Serikat tapi juga bagi kawan-kawannya di wilayah itu. (7/08/96 19:39)

Tidak ada komentar: