Sabtu, 14 Juni 2008

SIA-SIA MINTA DK PBB KUTUK TINDAKAN ISRAEL?

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 24/3/97 (ANTARA) - Tindakan AS pada Jum'at (21/3) untuk kedua kali memveto rancangan resolusi untuk mengutuk Israel memperjelas sikap berat sebelah Washington dan seakan "mengharamkan" Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang mengutuk segala tindakan penguasa Israel.

Pada 7 Maret Duta Besar AS di PBB Bill Richardson menggunakan hak veto guna menggagalkan rancangan resolusi yang mengutuk Israel kendati 14 anggota Dewan Keamanan mendukungnya. Resolusi 21 Maret didukung oleh 13 anggota DK, sementara satu anggota, Kosta Rika abstein, dan AS memveto.

Presiden Palestina Yasser Arafat dilaporkan AFP menuduh Washington melanggar komitmennya pada proses perdamaian Timur Tengah, dan Menteri Luar Negeri Mesir Amr Mussa menyatakan, penentangan AS terhadap resolusi untuk menghentikan pembangunan permukiman Yahudi di Jabal Abu Ghneim "tak dapat diterima".

Amerika Serikat, menurut Arafat, telah menjamin takkan ada perubahan demografis pada wilayah Palestina, terutama Jerusalem, selama masa otonomi.

Masalah Jerusalem juga diduga akan menjadi topik utama pertemuan puncak Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Islamabad, Pakistan, yang dijadwalkan dimulai pada Minggu.

Amr Mussa berpendapat, apa pun alasan yang diajukan Amerika Serikat untuk mensahkan pendiriannya sama sekali tak dapat diterima.

Richardson sekali lagi menyatakan, "campurtangan Dewan Keamanan" hanya akan memperhebat ketegangan di kawasan Timur Tengah.

Kawasan yang mudah bergolak itu memang sudah tegang sejak pemerintah sayap kanan Israel, yang dipimpin PM Benjamin Netanyahu, mengumumkan akan membangun 6.500 rumah buat orang Yahudi di Jabal Abu Ghneim.

Sebelum veto kedua AS dalam dua pekan di Dewan Keamanan, terjadi satu serangan bom bunuh diri di Tel Aviv dilaporkan kantor-kantor berita transnasional menewaskan empat orang dan melukai lebih 40 orang.

Namun alasan AS tersebut diberitakan ditentang oleh Duta Besar Mesir di PBB Nabil El-Araby. Wakil Kairo itu berpendapat, Dewan Keamanan berhak menangani masalah yang mempengaruhi perdamaian dan keamanan internasional, termasuk Timur Tengah.

Dalam masalah Israel, Washington telah berkali-kali memperlihatkan standard gandanya.

Resolusi pengutukan oleh Dewan Keamanan sangat mahal jika menyangkut negara Yahudi, tapi kalau ditujukan bagi negara lain, apalagi yang tak mau tunduk pada AS, misalnya Irak dan Libya, resolusi tersebut "sangat murah".

Tidak sah

Karena diganjal AS di Dewan Keamanan awal Maret, pihak Palestina membawa masalah permukiman baru Yahudi itu ke Majelis Umum PBB.

Dalam pembahasannya 13 Maret Majelis Umum PBB meminta Israel membatalkan keputusannya untuk membangun perumahan Yahudi di Jabal Abu Ghneim serta menahan diri dari tindakan yang berakibat buruk bagi perdamaian Timur Tengah.

Majlis Umum, dalam resolusi yang disetujui dengan suara mayoritas, juga menekankan, pembangunan perumahan Yahudi di Jerusalem Timur itu tidak sah karena status akhir wilayah tersebut masih harus dirundingkan Israel dan Palestina.

Resolusi yang ditaja bersama oleh 57 negara, termasuk Indonesia itu, disetujui dengan perbandingan suara 130 mendukung, dua abstein (Kepulauan Marshall dan Mikronesia) dan dua menentang (Israel dan Amerika Serikat).

Resolusi yang tidak mengikat itu disampaikan di Majelis Umum bertujuan mendesak Israel agar membatalkan keputusannya untuk membangun 6.500 unit rumah di Jerusalem Timur.

Pengamat Palestina di PBB Nasser Al-Khidwa dilaporkan mengatakan, meski tidak mengikat, resolusi yang disetujui dengan suara mayoritas itu mencerminkan penentangan kuat masyarakat internasional terhadap kebijakan Pemerintah Israel.

"Dukungan suara yang melimpah terhadap resolusi itu mengandung pesan yang jelas bahwa Israel harus membatalkan keputusannya bagi pembangunan perumahan di Jerusalem Timur," ujar Al-Khidwa.

Namun dukungan masyarakat internasional tak berarti apa-apa, karena Israel melanjutkan rencana pembangunan permukimannya sementara AS menjadi "palang pintu" jika Dewan Keamanan diminta mengutuk negara Yahudi, apalagi kalau sampai diminta menjatuhkan sanksi.

Reaktif

Ketika AS awal Maret menggunakan vetonya di Dewan Keamanan, seorang pengamat Timur Tengah berkebangsaan Inggris, Prof.Dr.Yezidi Shaig berpendapat pemerintah Presiden Bill Clinton tidak memiliki sikap yang jelas terhadap perdamaian Timur Tengah, yang ada hanya sikap reaktif semata.

"Selama dua periode pemerintahan Clinton kita belum melihat sikap yang jelas. Yang tampak selama ini adalah sikap reaktif semata," kata Wakil Direktur Pusat Studi Internasional Universitas Cambridge Inggris itu dalam wawancara khusus dengan TV swasta Saudi, MBC, 13 Maret.

Dr.Yezidi dimintai komentarnya menyusul sikap Amerika Serikat terhadap kebijakan pemerintah Israel, yang memutuskan untuk mendirikan permukiman baru di Jabal Abu Ghenim, Jerussalem Timur.

Tindakan tersebut mendapat kecaman masyarakat dunia, karena Israel dipandang tidak perduli dengan ketentuan persetujuan perdamaian Palestina-Israel.

Ia memberi contoh sikap reaktif Washington sejak Netanyahu menolak perjanjian Oslo dan terakhir terhadap kebijakan permukiman baru di Jerussalem Timur.

"Untuk kasus ... itu, AS memveto resolusi DK PBB yang menuntut pemerintah Israel untuk mengurungkan rencana pembangunan permukiman baru di Jabal Abu Ghenim. Tetapi dalam waktu yang sama, setelah lawatan Presideni Mesir Hosni Mubarak, Washington setuju untuk ambil bagian dalam konferensi internasional di Jalur Gaza," katanya.

Konferensi itu diadakan Arafat untuk membahas krisis dalam proses perdamaian Timur Tengah pada 15 Maret.

Konferensi itu dipandang sebagai upaya terakhir untuk menyelamatkan proses perdamaian Palestina-Israel akibat pelanggaran oleh Netanyahu.

Keikutsertaan Washington dalam konferensi itu dianggap sebagai upaya memperlihatkan "sikap luwes AS" terhadap Arab --yang makin putus asa terhadap ulah Netanyahu.

"Jadi sudah jelas, ini bersumber dari reaksi AS saja untuk menunjukkan perimbangan sikapnya kepada Israel dan Arab. Sikap ini biasanya muncul ketika keputusasaan Arab makin besar," .

Yezid mengingatkan bahwa sikap reaktif tersebut tidak mungkin dapat membantu mewujudkan perdamaian yang adil dan menyeluruh sebagaimana yang diingini negara Arab.

Negara Arab tampaknya harus menuntut sikap jelas Washington terhadap masa depan perdamaian itu, jika AS ingin tetap memainkan peran sebagai penaja tak memihak dalam proses perdamaian Timur Tengah. (23/03/97 10:04)

Tidak ada komentar: