Sabtu, 14 Juni 2008

NETANYAHU LEMPAR KAIL, PALESTINA-SURIAH TETAP RAGU

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 19/7/96 (ANTARA) - Perdana Menteri baru Israel Benjamin Netanyahu mulai "melempar kail" untuk meredakan keprihatinan Arab dan kendati Mesir optimistis, Palestina serta Suriah tetap meragukan ketulusan Tel Aviv guna mewujudkan perdamaian di wilayah yang mudah bergolak itu.

Dengan "sedikit memperlunak sikap", pemimpin pemerintah paling sayap kanan di Israel itu mampu meyakinkan Presiden Mesir Hosni Mubarak bahwa perundingan "perdamaian Timur Tengah dapat dilanjutkan dengan Netanyahu".

Mubarak, kepala negara Arab pertama yang menerima Netanyahu sejak ia mengalahkan pemimpin Partai Buruh Shimon Peres dalam pemilihan umum Mei, menyatakan ia merasa besar hati dengan pertemuan dua jamnya dengan Netanyahu.

"Saya dapat memberitahu Anda sekarang bahwa saya sangat tenang. Saya mengerti konsepsinya dan saya memiliki harapan besar bahwa proses perdamaian akan berlanjut," kata Mubarak di Kairo sebagaimana dikutip Reuter.

Mubarak tetap optimistis kendati tak terlihat tanda bahwa Netanyahu memperlunak penentangannya terhadap pengembalian wilayah-wilayah Arab yang diduduki Israel sebagai imbalan bagi perdamaian, prinsip yang dipertahankan negara-negara Arab sebagai dasar setiap perundingan dengan Tel Aviv.

Sementara itu penasehat Mubarak, Osama Al-Baz, menyatakan orang tidak dapat mengharapkan perubahan 180 derajat dalam sikap Israel, atau hasil yang dramatis.

Pemimpin nasionalis sayap kanan Israel itu hanya bergeser sedikit dari sikap kerasnya, dan hanya mengumumkan sedikit peredaan atas penutupan terhadap wilayah-wilayah Palestina dan mengizinkan 10.000 orang Palestina lagi untuk kembali bekerja di Israel.

Jumlah tersebut jauh dari yang diduga pers Israel sendiri dan jauh lebih rendah dari peredaan blokade pada Juni, ketika Israel mengizinkan 25.000 orang Palestina bekerja kembali di wilayahnya.

Namun Al-Baz menyatakan bahwa Israel "bertekad untuk mencapai perdamaian dengan semua pihak Arab".

Netanyahu juga dapat membuat senang para pejabat Mesir dengan pernyataan bahwa negerinya akan "berpegang pada kerangka rujukan" konferensi perdamaian Madrid 1991, yang menetapkan prinsip pengembalian wilayah yang diduduki Israel sebagai imbalan bagi perdamaian.

Mengenai prinsip tersebut, Netanyahu sebelumnya telah menyatakan bahwa semua itu tidak sesuai dan membahayakan keamanan Israel.

Meskipun demikian, Netanyahu berusaha meredakan keprihatinan dan "mendinginkan kepala" pemimpin-pemimpin Arab dengan menjual pernyataan bahwa Menteri Luar Negerinya David Levy akan bertemu dengan Presiden Palestina Yasser Arafat pekan depan. Namun ia tidak menyebutkan kapan tepatnya.

Sementara itu di Jerusalem, harian Yediot Aharonot -- yang dikutip AFP, dalam ringkasannya mengenai hasil pertemuan Netanyahu-Mubarak di Kairo berkomentar, "Mubarak: Saya yakin kembali. Netanyahu: Saya tidak memberi apa-apa."

Dengan hanya sedikit mengubah bunyi kalimatnya, Netanyahu dilaporkan berhasil meyakinkan kembali pemimpin Mesir tersebut, padahal pemimpin Israel itu tidak membicarakan isi kampanyenya sebelum pemilihan presiden pada Mei.

Hari Jumat, tanda tanya besar dilaporkan tetap menggantung mengenai perincian maksud Netanyahu sesungguhnya dalam "keinginannya untuk melanjutkan proses perdamaian dengan tetangga-tetangga Arab-nya," yang telah macet selama lima bulan.

Netanyahu juga tidak menyebut-nyebut tanggal bagi penempatan kembali militer Israel dari kota kecil Al-Khalil di Tepi Barat Sungai Jordan.

Penarikan tentara Yahudi dari 80 persen bagian kota tersebut mestinya telah dilakukan pada Maret tapi ditunda oleh bekas perdana menteri Shimon Peres menyusul gelombang serangan bom bunuh diri oleh kelompok garis keras Palestina yang menentang persetujuan perdamaian dengan Israel.

Berdasarkan persetujuan September 1995, 80 persen bagian kota itu tempat 400 orang Yahudi tinggal di tengah-tengah 120.000 orang Palestina, mesti diserahkan kepada Pemerintah Otonomi Palestina, dan penarikan tersebut dipandang sebagai ujian pertama atas komitmen Netanyahu terhadap proses perdamaian.

Namun sampai sekarang, Netanyahu tidak pernah membicarakan masalah penarikan tentara Israel dari kota itu.

Tak berubah

"Janji Netanyahu" untuk meredakan amarah dunia Arab, yang mengadakan konferensi tingkat tinggi di Kairo 22-23 Juni guna menghadapi sikap tak kenal kompromi pemimpin Likud tersebut, tak berhasil mencairkan keraguan dalam diri banyak pemimpin Palestina.

"Semua deklarasi ini sama sekali bukan baru dan yang ada di baliknya penuh dengan bahaya sesungguhnya," kata Menteri Pemerintah Lokal Palestina, Saeb Erakat, sebagaimana dikutip AFP.

Pejabat lain Palestina, Hassan Asfur -- pemimpin departemen perundingan Pemerintah Otonomi, menyatakan janji Netanyahu untuk mengizinkan 10.000 lagi orang Palestina untuk bekerja di Israel "tidak memadai" bagi dilanjutkannya proses perdamaian.

Pernyataan Netanyahu bahwa David Levy akan bertemu dengan Arafat pekan depan juga tidak memenuhi tuntutan Palestina untuk mengadakan pembicaraan dengan perdana menteri Israel itu sendiri.

Penasehat Arafat, Nabil Abu Rudeina, menganggap pertemuan Levy-Arafat adalah "awal yang baik" tapi itu hanya dapat mencapai sasaran kalau ditujukan sebagai persiapan bagi pertemuan puncak Arafat-Netanyahu.

Sejak menyampaikan pidato saat pelantikannya, Netanyahu tak pernah mengumumkan kesediaan bertemu dengan Arafat atau menyampaikan komitmen untuk melakukannya, tindakan yang membuat gusar para pejabat Palestina.

Duta Besar Palestina untuk Jakarta, Ribhi Y. Awad, bahkan pernah menyatakan jika Netanyahu tak ingin berunding dengan Arafat, "apakah ia ingin berunding dengan monster?".

Di Jerusalem Erakat mengutuk perdana menteri Israel tersebut karena tetap tidak mengacuhkan "seruan Presiden Palestina Arafat untuk melanjutkan perundingan", karena "mengaitkan nasib 120.000 orang Palestina di Al-khalil dengan beberapa ratus pengacau Yahudi" dan karena menyebut Tepi Barat dengan menggunakan nama daerah itu dalam Taurat, Judea dan Samaria.

Penundaan penarikan militer Yahudi dari Al-Khalil juga menjadi kekecewaan besar kedua Pemerintah Otonomi Palestina setelah lawatan Netanyahu ke Washington pekan kedua bulan Juli.

Selama lawatannya tersebut, Presiden AS Bill Clinton tak berhasil menekan Netanyahu agar menetapkan tanggal penarikan dari Al-Khalil atau berjanji untuk membekukan pembangunan permukiman Yahudi di wilayah-wilayah Palestina.

Netanyahu juga tidak mengubah sikapnya mengenai Jerusalem, yang diklaimnya sebagai ibukota utuh dan langgeng Israel sementara Palestina mengklaimnya sebagai ibukota negara mendatang Palestina.

Nada serupa para pejabat Palestina tersebut juga disampaikan Suriah, yang menyatakan Damaskus tidak melihat sesuatu yang baru dalam pernyataan Netanyahu di Kairo.

"Karena tekanan Arab dan masyarakat dunia, Netanyahu berusaha dalam ucapannya di Kario Kamis (18/7) untuk memperlunak pernyataannya tapi tanpa meninggalkan dasar kebijakannya," kata radio pemerintah Suriah.

Menurut radio itu, Damaskus siap membahas semua tindakan yang akan menjamin keamanan bagi Israel dan tetangga-tetangganya akan melakukan pengaturan tersebut sama dan seimbang.

Pembicaraan perdamaian Suriah-Israel, yang dimulai pada 1991, telah macet mengenai masalah penarikan Israel dari Dataran Tinggi Golan, yang direbut Israel dari Suriah tahun 1967.

Sementara itu harian berbahasa Inggris, Syria Times, berkomentar, "Netanyahu mesti faham bahwa sikap garis kerasnya takkan pernah mewujudkan perdamaian di wilayah ini. Jika ia berminat mengenai masalah keamanan dan stabilitas di wilayah ini ia mesti menghormati prinsip- prinsip perdamaian dan mematuhi persyaratan bagi perdamaian."

Harian lain Suriah mewartakan pihak Arab takkan menerima baik prasyarat Netanyahu bagi dimulainya kembali pembicaraan perdamaian.

Pemimpin Israel tersebut menuntut dihentikannya semua aksi perlawanan sebelum dimulainya perundingan apapun dan bahkan sebelum disampaikannya pernyataan untuk menerima baik perundingan.

Netanyahu juga menyerukan penghentian semua kegiatan Palestina di Jerusalem dan penutupan semua kantor Palestina di kota suci tiga agama langit tersebut, Yahudi, Nasrani dan Islam, katanya.

"Bertolak belakang dengan apa yang dikatakan Netanyahu mengenai penolakannya terhadap berbagai prasyarat, ia malah mengajukan sejumlah prasyarat fatal yang membuat dilanjutkannya perundingan tak mungkin terlaksana," kata harian Ath-Thawra.
(20/07/96 11:10)

Tidak ada komentar: