Minggu, 15 Juni 2008

KEMENANGAN NETANYAHU REBAK KEKHAWATIRAN PALESTINA

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 1/6/96 (ANTARA) - Kemenangan pemimpin sayap kanan Benjamin Netanyahu menyebar kekhawatiran bahwa proses perdamaian dengan PLO, dan juga dengan negara- negara Arab, akan menghadapi bencana sekalipun tak sampai mematikan proses tersebut.

Sikap tak kenal kompromi pemimpin Partai Likud menjadi "senjata pamungkasnya" dalam meraih dukungan rakyat Israel, yang justru masih dikungkung kekhawatiran mengenai keamanan mereka.

Selama kampanye pemilihan umumnya, yang disiarkan kantor berita Reuter, Netanyahu membeberkan rencana yang tampaknya mendapat dukungan dari rakyat yang menentang penyerahan wilayah pendudukan kepada pemilik lamanya.

Mengenai perdamaian dengan Palestina, Netanyahu menyatakan akan menyerahkan kembali tanggung jawab keamanan kepada militer Israel dan dinas keamanan dalam negeri Shin Bet. Ia juga akan mengusulkan "pengaturan adil" kepada Palestina; otonomi, tapi bukan berdirinya negara Palestina "yang akan mengancam keberadaan negara Yahudi."

Alasannya, Netanyahu yakin Palestina menghendaki negara bersenjata, Jerusalem sebagai ibukota, serta hak untuk pulang. Ia juga menuding Palestina mengingini hak untuk membanjiri Israel dengan pengungsi -- kejadian yang tak dikehendaki Israel karena dianggapnya membahayakan keselamatan rakyat Yahudi.

Rencana tersebut bertolak belakang dengan keinginan Pemerintah Otonomi Palestina -- yang menganggap kekuasaan otonomi sebagai "langkah awal berdirinya negara Palestina".

Keinginan Palestina itu mendapat dukungan dari negara- negara Arab. Menteri Luar Negeri Amr Mussa, dalam komentarnya yang dikutip AFP mengenai kemenangan Netanyahu atau pemimpin Partau Buruh Shimon Peres hari Jumat (31/5), menyatakan, takkan ada perdamaian Timur Tengah dengan Israel tanpa berdirinya negara Palestina merdeka.

Menteri Luar Negeri Mesir tersebut menghendaki perdamaian dengan Israel harus bersifat global dan adil berlandaskan penarikan total Israel dari wilayah-wilayah Arab yang direbutnya dalam perang tahun 1967.

Sementara itu Netanyahu juga tetap ngotot mempertahankan Jerusalem sebagai ibukota utuh negara Yahudi. "Israel telah menjadi ibukota bangsa Yahudi selama 3.000 tahun terakhir ini, dan akan tetap seperti itu -- tak terpisah, bersatu, dan memiliki kebebasan masuk bagi semua agama," katanya.

Masalah lain

Netanyahu, berbeda dengan pemerintah Buruh yang membekukan pembangunan permukim baru, telah menyatakan akan memperluas permukiman Yahudi di Judea dan Samaria (Tepi Barat Sungai Jordan).

Ia bahkan menyatakan akan membahas luas wilayah permukiman baru itu dalam kerangka kerja pemerintah baru.

Tidak terlalu mengherankan jika Netanyahu ingin mempertahankan Tepi Barat, karena daerah itu cukup subur dan memiliki beberapa sumber air tawar, keperluan hidup yang sangat didambakan di Timur Tengah.

Netanyahu juga tak setuju dengan kebijakan pemerintah Peres untuk menarik militer dari beberapa bagian wilayah Al-Khalil. Penarikan dari tempat seorang pengikut aliran ekstrim Yahudi, Dr. Baluch Goldstein, yang membantai 60 orang Palestina yang sedang shalat Subuh di Masjid Ibrahim juga ditunda oleh Peres setelah serangkaian pemboman bunuh diri oleh kelompok garis keras Palestina.

Mengenai Dataran Tinggi Golan, Netanyahu menganggap hanya "pemerintah gila" di Israel yang mau mundur dari Golan.

Kelompok garis keras Israel mempertahankan dataran tinggi itu dengan alasan keamanan. Dataran tinggi yang direbut dari Suriah tersebut memiliki nilai strategis bagi Israel karena di kaki dataran itu terdapat Laut Galilee dan di tepi danau air tawar tersebut terdapat salah satu tempat suci umat Nasrani, Coppernaum, serta tempat wisata Tiberias.

Selain itu, sekitar 15 menit perjalanan dengan mobil dari kaki Golan, terdapat kota bersejarah Nazareth -- tempat yang disebut-sebut sebagai contoh betapa orang Yahudi dan Arab dapat hidup berdampingan.

Peres, setelah menggantikan perdana menteri terbunuh Israel Yitzha Rabin, telah mengusulkan penarikan dari sebagian dataran tinggi tersebut sampai Suriah menjelaskan jenis perdamaian yang dikehendakinya.

Masa sulit

Dengan rencana kebijakan seperti yang telah disampaikan Netanyahu, para pemimpin Palestina tentu saja berfikir bahwa proses perdamaian akan berjalan lebih alot dan mereka akan menghadapi masa sulit dibandingkan dengan ketika berunding dengan Pemerintah Buruh.

Seorang anggota Parlemen Palestina dilaporkan berpendapat, Palestina akan menghadapi perundingan sulit dengan pemerintah Likud.

Partai Buruh, menurut dia, lebih luwes dalam pembicaraan mengenai Jerusalem, pengungsi dan bahkan mengenai berdirinya suatu negara.

Kekhawatiran seperti itu memang beralasan mengingat sikap keras Partai Likud. Apalagi setelah Walikota Jerusalem Ehud Olmert, menurut laporan, memperkirakan pemerintah mendatang Israel akan menutup markas PLO di Jerusalem Timur.

Pernyataan Olmert berhubungan dengan janji Partai Likud sebelum pemilihan umum untuk menutup kantor PLO tersebut, dan ia percaya "komitmen itu akan dilaksanakan".

Sekarang setelah Netanyahu dinyatakan menang tipis dalam pemilihan umum dengan 50,4 berbanding 49,5 persen atas Partai Buruh, terbuka lah peluang bagi pemimpin Partai Likud tersebut untuk "membuktikan kebenaran janji- janjinya".

Netanyahu juga memiliki peluang akan menaikkan angka kemenangannya dengan melakukan aliansi dengan partai- partai ultra-ortodok Yahudi, imigran baru, dan penentang penarikan dari Dataran Tinggi Golan.

Meskipun demikian, banyak orang Palestina percaya Netanyahu dapat memperlambat proses perdamaian, tapi tidak menghentikan proses itu.

Alasannya ialah Amerika Serikat, pemrakarsa persetujuan perdamaian antara PLO dan Israel di Oslo tahun 1993 dan yang menghadiahi Israel dengan bantuan 10 miliar dolar AS sewaktu negara Yahudi tersebut menyetujui pembicaraan perdamaian, takkan membiarkan proses itu mati.

Betapapun juga nama baik Amerika -- yang selalu menjadi pendukung dan pelindung Israel di dunia internasional -- ikut menjadi taruhan dalam proses perdamaian Timur Tengah. (1/6/96 19:40 )

Tidak ada komentar: