Sabtu, 10 Mei 2008

1994 DIWARNAI PERDAMAIAN, PERANG DAN KETAKBERDAYAAN PBB

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 21/12 (ANTARA) - Meskipun demokrasi merebak di sebagian wilayah dunia ini selama tahun 1994, kerusuhan dan pertumpahan darah serta ketakmampuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di belahan lain nyaris menenggelamkan harapan bahwa tata dunia baru akan muncul lima tahun setelah berakhirnya Perang Dingin.

Menurut data yang disiarkan kelompok Hak Asasi Manusia (HAM) yang berpusat di New York, Freedom House, 114 dari 191 negara di seluruh dunia telah mengenyam demokrasi dan 37 lagi dikategorikan sebagai negara yang memiliki kebebasan terbatas.

"Sebelumnya tak pernah terjadi begitu banyak negara yang berusaha mengikuti kekuasaan demokrasi ...," demikian komentar pemimpin kelompok tersebut Bette Bao Lord, yang dikutip AFP.

Namun, meskipun terlihat pertumbuhan dalam dunia demokrasi, banyak negara masih menghadapi gejala perpecahan dan bentrokan.

Tujuh negara --Guinea-Bissau, Haiti, Malawi, Mozambik, Palau, Afrika Selatan dan Ukraina-- memperlihatkan jalan menuju demokrasi selama tahun 1994, tapi Gambia, Kazakhstan dan Yaman, serta belakangan ini Rusia justru menunjukkan gejala yang bertolak belakang.

Kelompok itu mendasarkan penilaiannya pada sistem pemilihan umum di masing-masing negara, selain kehadiran kelompok politik oposisi dan dihormatinya hak asasi manusia.

Selama tahun 1994, harapan bagi terwujudnya perdamaian juga mencuat di beberapa daerah seperti Timur Tengah dan Irlandia Utara, serta pergeseran dari kekuasaan apartheid di Afrika Selatan. Namun, pembantaian sebanyak 60 orang Palestina oleh pemukim ekstrim Yahudi di Masjid Ibrahim di Al-Khalil membuat proses perdamaian di Timur Tengah tersendat.

Tak kurang dari enam puluh persen negara di dunia ini dapat dikategorikan sebagai negara demokrasi, tapi 80 persen penduduk dunia belum menikmati kebebasan demokrasi secara utuh.

Perbedaan seperti itu muncul karena hampir separuh penduduk dunia tinggal di negara-negara yang dimasukkan oleh kelompok tersebut sebagai negara yang tak bebas dan separuh bebas.

Sebanyak 76 negara dikategorikan sebagai negara bebas dan 61 negara separuh bebas, serta 54 negara tak bebas.

Wilayah Amerika juga dimasukkannya sebagai wilayah yang menunjukkan kebebasan lebih besar kendati wilayah itu dirongrong oleh korupsi dan kartel obat bius.

Prestasi belahan bumi tersebut diperlihatkan dengan berakhirnya kekuasaan militer di Haiti dan pemilihan umum yang relatif lancar di Brazilia serta Meksiko.

Ternoda pertikaian

Meskipun demikian, berbagai kerusuhan di negara-negara lain seperti nasib buruk rakyat Rwanda, Sudan dan Aljazair, pertumpahan darah di Bosnia-Herzegovina serta Chechnya membuat prestasi yang diraih sebagian negara tersebut seperti tak berarti.

Rusia masih bergelut untuk menyelesaikan warisan bekas Uni Sovyet dan di penghujung tahun ini harus berhadapan dengan aksi separatis wilayah Chechnya, yang dipimpin oleh Dzhokhar Dudayev.

Di wilayah Asia Selatan, Bangladesh, India dan Pakistan dicekam pertikaian baru dan bentrokan di negara Mujahidin, Afghanistan, tidak memperlihatkan tanda akan segera mereda sementara ancaman musim dingin telah tiba.

Presiden Rusia Boris Yeltsin, yang saat itu dirawat di rumah sakit Moskow setelah menjalani operasi saluran pernapasan, mengerahkan kekuatan perangnya guna memadamkan kerusuhan antara pasukan Dudayev dan kelompok yang tak setuju dengan pemisahan diri dari Rusia. Pertempuran pun tak terelakkan.

Sementara itu, Perdana Menteri Pakistan Benazir Bhutto dihadapkan dengan kerusuhan di Karachi dan Bajaur pada akhir tahun ini.

Selain itu, pertumpahan darah di republik Balkan juga belum memperlihatkan tanda yang membesarkan hati bahwa pertempuran akan segera berakhir.

Meskipun mantan Presiden AS Jimmy Carter, menurut laporan UPI dan Reuter, "berbesar hati" dengan tawaran gencatan senjata etnik pembangkang Serbia Bosnia, perdamaian sejati belum memperlihatkan diri.

Pemimpin Serbia Bosnia, Radovan Karadzic --yang tak mau menerima usul pembagian republik bekas Yugoslavia itu-- oleh kelompok kontak internasional, belakangan malah mengusulkan peta versinya sendiri.

Di Afghanistan, perebutan kekuasaan antar-Mujahidin yang ditunggangi bekas antek-komunis gembong Afghanistan Utara Jenderal Abdul Rashid Dostum masih terus berkecamuk.

Bulan November lalu, tak kurang dari 80 ton bantuan medis Komite Palang Merah Internasional terdampar di Jalalabad, Afghanistan Timur, karena semua itu tak mungkin disalurkan lewat darat akibat pertempuran yang terjadi setiap hari terutama di sekitar ibukota negara tersebut, Kabul.

Tak berdaya

Di atas semua prestasi dan pertikaian tersebut, masyarakat dunia akan mengingat 1994 sebagai tahun yang membuat masyarakat dunia hanya terpaku dan jadi penonton pembantaian hampir satu juta orang di satu republik kecil di Afrika, Rwanda.

Pembantaian dan perang baru di negara itu --antara suku minoritas Tutsi dan mayoritas Hutu-- dipicu dengan terbunuhnya presiden negara tersebut bulan April.

Beberapa bulan setelah itu, suku minoritas keluar sebagai pemenang, dan berbagai kamp pengungsi di wilayah tersebut pun dipenuhi orang yang takut terhadap aksi pembunuhan oleh suku Tutsi.

Meskipun PBB turun tangan dengan mengerahkan pasukan pemelihara perdamaian dan mendirikan daerah-daerah aman, pembantaian toh berlangsung terus.

PBB, dan juga Liga Arab, sampai sekarang juga tak berhasil mendinginkan hati para pemimpin Afghanistan agar menghentikan bakuhantam sekalipun secara teori negeri itu telah memiliki pemerintahan.

Akan tetapi, pertikaian antara Perdana Menteri Gulbuddin Hekmatyar dan Presiden Burhanuddin Rabbani membuat penderitaan rakyat di negara Mujahidin tersebut terus berlarut.

Selain itu, di Bosnia-Herzegovina pertumpahan darah bagai tak terkendali saat wilayah tersebut memasuki musim dingin ketiganya dalam pertempuran.

PBB terlihat berhasil menghentikan pemboman pasukan Serbia Bosnia terhadap Sarajevo dengan meminjam ancaman serangan udara NATO bulan Februari, tapi cengkeraman pasukan Serbia Bosnia atas Bihac mendekati akhir tahun ini tak mengendur meskipun serangan udara terbatas dilancarkan.

Meskipun mendapat tekanan dari berbagai pihak, etnik Serbia Bosnia tak mau menerima rencana perdamaian kelompok kontak internasional dan PBB tak bisa berbuat banyak dalam masalah ini.

Ketidak-berdayaan badan dunia tersebut juga terlihat di Somalia, tempat misi "Pemulihan Harapan" pimpinan AS tak berhasil memberi kedamaian buat rakyat negeri itu.

Kelompok terakhir pasukan pemelihara perdamaian PBB bahkan dijadwalkan meninggalkan Somalia bulan Maret 1995.

Walaupun banyak negara memperlihatkan gejala baik menuju demokrasi, tahun 1994 pun menjadi tamparan atas ketidak mampuan PBB menyelesaikan konflik di negara-negara anggotanya. (21/12/94 20:50)

Tidak ada komentar: