Jumat, 09 Mei 2008

AL-KHALIL DURI DALAM DAGING PLO-ISRAEL

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 20/9 (ANTARA) - Selama tiga pekan berturut-turut para pemimpin PLO dan Israel tak berhasil menghilangkan batu sandungan terbesar dalam penerapan tahap selanjutnya otonomi Palestina di seluruh Tepi Barat Sungai Jordan, yakni masalah pengaturan keamanan di Al-Khalil.

Menteri Luar Negeri Israel Shimon Peres belakangan --seperti dilaporkan kantor berita Reuter dan AFP-- menyatakan "terobosan dicapai" mengenai masalah Al-Khalil.

Kota kecil di Tepi Barat Sungai Jordan itu --tempat pemukim ekstrim pengikut aliah Kahane, Baruch Goldstein, pada Februari 1994 membantai orang-orang Palestina yang sedang salat Subuh-- telah menjadi penghalang utama dalam persetujuan otonomi di Tepi Barat.

Kalau saja masalah pengaturan keamanan dapat segera diselesaikan, masalah lain "tak terlalu sulit" untuk dituntaskan, begitu pendapat para pejabat PLO dan Israel.

Tetapi jika Israel tidak juga mau bersikap lebih luwes mengenai pengaturan keamanan di kota tersebut, penerapan persetujuan otonomi Palestina tampaknya akan menghadapi krisis.

Israel ingin mempertahankan kehadiran pasukan keamanannya di pusat kota suci umat Islam dan Yahudi itu guna melindungi 450 pemukim Yahudi, tapi PLO mengingini Tel Aviv menarik tentaranya dari tempat bermukim 120.000 orang Palestina itu.

Peres akhir pekan kedua September mengajukan rencana baru kepada Pemimpin PLO Yasser Arafat mengenai Al-Khalil.

Rencana itu ditampik karena Israel ingin penguasa Yahudi mempertahankan pengawasan atas kota tersebut, suatu tindakan yang dikhawatirkan akan memecah Al-Khalil menjadi daerah Yahudi dan Palestina.

PLO menampik rencana tersebut karena penarikan tentara baru dilakukan dari Al-Khalil dan desa-desa sekitarnya setelah Israel mewujudkan jalan raya di sekeliling daerah permukiman Yahudi, sehingga memecah Al-Khalil dan secara tidak sah menyerobot tanah Palestina di pusat kota itu.

Sebelumnya Peres menyatakan telah membuat "kemajuan" dalam pembicaraan dengan PLO, meskipun masih ada masalah rumit yang harus diselesaikan.

Beberapa pejabat PLO dilaporkan mengusulkan penarikan dua tahap dari Al-Khalil sebelum pemilihan umum Palestina, masalah lain yang juga belum terselesaikan tapi dijadwalkan "paling lambat akhir tahun ini".

Menurut PLO, akan ada pengaturan keamanan sementara secara khusus di pusat kota Al-Khalil, tempat tinggal pemukim Yahudi fanatik.



Masjid Ibrahim

Beberapa bulan setelah Golstein memberondong orang-orang Palestina Februari 1994, Masjid Ibrahim --tempat terjadinya pembantaian-- dibuka kembali walaupun dilaporkan beberapa bagian tetap diblokade Israel.

Jalan masuk menuju makam Nabi Ibrahim AS dan istrinya, Sarah, serta makam Nabi Ayub AS dan Nabi Yusuf AS diberitakan telah diberi pembatas.

Akibatnya, umat Islam yang ingin berziarah ke Masjid Ibrahim dilaporkan hanya bisa melihat Makam Nabi Ibrahim AS dengan cara mengintip dari kisi-kisi jendela.

Alasan penguasa Yahudi memberi pembatas tak lain dari masalah keamanan.

Polisi Israel dikabarkan juga sering bertindak tidak adil dan menghalangi pemuda-pemuda Palestina pergi ke masjid tersebut. Pasukan keamanan Yahudi bahkan tak segan-segan memukul para pemuda Palestina yang ingin memasuki Masjid Ibrahim atau masjid lain di Al-Khalil.

Tindakan pasukan keamanan Israel itu dimaksudkan untuk mencegah pemuda Palestina berorientasi ke masjid yang selama ini berfungsi sebagai pusat pendidikan dan penggemblengan budaya kaum muda Palestina.

Tetapi ada juga pihak yang berpendapat bahwa aksi mengobrak-abrik tempat ibadah tersebut berkaitan dengan keinginan sebagian orang Yahudi untuk menghalangi proses perdamaian Palestina-Israel.

Pengaturan sementara

Kini setelah sekitar 19 bulan pembantaian oleh pengikut pendeta ultraortodoks Yahudi, Meir Kahana, tersebut PLO dan Israel tampaknya mulai memiliki "saling pengertian".

Dalam perundingan hari Selasa (19/9), terobosan dilaporkan telah dicapai mengenai beberapa masalah rumit, termasuk masalah Al-Khalil.

Pemimpin PLO Yasser Arafat dan Peres diberitakan menyepakati empat prinsip yang diharapkan akan melicinkan jalan bagi penerapan tahap kedua otonomi Palestina.

Israel diwartakan bersedia mengakui Al-khalil sebagai kota bangsa Palestina dan menyetujui penarikan tentara, tapi tidak mengumumkan komitmennya bagi jadwal atau lingkup penarikan tersebut.

Para pemukiman Yahudi disetujui akan menetap di Al-Khalil "paling tidak selama masa otonomi sementara sampai tahun 1999".

Polisi Palestina akan ditempatkan di kota itu, dan akan melakukan koordinasi dengan militer Israel.

Makam para nabi akan tetap berada di bawah pengawasan Israel, "setidaknya untuk sementara".

Jurubicara Arafat, Marwan Kanafani, dilaporkan menyatakan PLO dan Israel sepakat bahwa mesti ada penarikan militer Israel, dan pengaturan khusus sementara para pemukim Yahudi di Al-Khalil.

Kesepakatan tersebut memperlihatkan bahwa sekali lagi Arafat harus melakukan konsesi. Sebelumnya, pemimpin PLO itu menuntut penarikan total militer Israel dari Al-Khalil sebelum pelaksanaan pemilihan umum dewan Palestina, yang telah tertunda lebih dari satu tahun.

Sementara itu Israel tak pernah surut dari keinginannya untuk mempertahankan kehadiran militernya di kota itu.

Awal tahun ini Sekretaris Jenderal Liga Arab Esmat Abdul Meguid mencela sikap keras kepala Israel itu.

Ia mempertanyakan, "Siapakah yang telah berubah pendirian, bangsa Arab atau Israel?"

Israel, menurut dia, sejak penandatanganan persetujuan otonomi Palestina tahun 1993, telah sering menelan kembali ucapannya. (20/09/95 10:38)

Tidak ada komentar: