Selasa, 13 Mei 2008

1996, TAHUN KESEDIHAN BAGI BENAZIR BHUTTO

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 20/12 (ANTARA) - "Troubles come in double (kesulitan datang beruntun)"! Begitu lah kejadian yang dialami mantan perdana menteri Pakistan Benazir Bhutto.

Saat Benazir menghadapi kemelut akibat desakan oposisi, ia kehilangan adik laki-lakinya Murtaza Bhutto --yang tewas dalam baku tembak di Karachi 20 September.

Murtaza tewas akibat luka selama baku tembak antara pengawalnya dan polisi di dekat kediamannya di Karachi, kejadian yang membuat Benazir kehilangan satu lagi anggota keluarganya dalam aksi kekerasan.

Ayah Benazir, mantan presiden dan perdana menteri Zulfikar Ali Bhutto, dihukum mati di Rawalpindi 4 April 1979 --dua tahun setelah terguling dalam kudeta militer yang dipimpin bekas kepala staf militer Mohammad Ziaul Haq.

Tahun 1985 Pakistan kembali dibuat tersentak, ketika seorang adik laki-laki Benazir, Shahnawaz Bhutto, ditemukan tewas di kediamannya di Cannes, Perancis.

Bagi Benazir, yang keluarganya selalu dibayangi ancaman maut, kematian Murtaza (42) menjadi pukulan berat, apalagi saat itu pemerintahnya sedang menghadapi kemelut karena diguncang oposisi.

Pada 5 November Benazir dipecat dan kabinetnya dibubarkan oleh Presiden Farooq Leghari dengan tuduhan korupsi dan memerintah tak semestinya, tapi ia balik menuduh Leghari melakukan korupsi dan nepotisme.

Kejadian tersebut merupakan pengulangan pemecatan atas Benazir tahun 1990, saat ia dipecat oleh Presiden Ghulam Ishaq Khan, meskipun pada 1993 ia kembali memangku jabatan.

Partai Rakyat Pakistan (PPP), yang dipimpin Benazir, malah menuduh Leghari takut menghadapi tindakan anti- korupsi yang dilancarkan Benazir.

Menurut Benazir, Leghari telah "dibayangi awan gelap" sejak 1994, ketika oposisi menuduh presiden Pakistan itu "melakukan penyimpangan keuangan" dalam persetujuan soal tanah.

Darah ayahnya dikhianati?

Belakangan Benazir menuduh Leghari "mengkhianati darah ayahnya, yang menemui ajal di tiang gantungan".

Ayah Benazir, Zulfikar Ali Bhutto, adalah perdana menteri pertama hasil pemilihan umum di Pakistan, dan memerintah dari 1971 sampai 1977 --saat ia digulingkan oleh pemimpin militer Jenderal Mohammad Zia-ul -Haq.

Zulfikar dihukum gantung April 1979 karena dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan politik.

Benazir menyatakan, Leghari --yang membubarkan pemerintah tiga tahun yang dipimpinnya-- sebelumnya berikrar takkan menggunakan kekuasaan konstitusionalnya untuk membubarkan Majelis Nasional.

"Ayah saya mengorbankan darahnya bagi negeri ini dan bagi demokrasi parlementer. Banyak pejabat kita digantung demi demokrasi parlementer," kata Benazir sebagaimana dilaporkan Reuter, November lalu.

Kini ia merasa Leghari membiarkan darah itu mengalir; "darah yang dikorbankan demi tegaknya demokrasi parlementer".

Karena itu Benazir menyatakan bahwa ia bertekad akan mengajukan masalah pemecatannya ke Mahkamah Agung untuk meminta dipulihkannya Majelis Nasional.

Ia juga mengatakan bahwa petisi sah akan membuktikan bahwa dakwaan yang diajukan Leghari terhadap pemerintahnya adalah tidak benar, dan tujuan "sesungguhnya perintah presiden tersebut --guna menyelenggarakan pemilihan umum yang adil dan bebas-- juga tidak benar".

Benazir (43) yakin Mahkamah Agung akan memberi keputusan sebagaimana dilakukannya tahun 1993 --ketika mahkamah itu menolak perintah presiden bagi pemecatan perdana menteri Nawaz Sharif.

Tuntutan resmi Benazir akan menjadi salah satu dari beberapa kasus yang diduga akan terjadi guna mengalihkan krisis politik di Pakistan ke meja hijau.

Sementara itu Perdana Menteri sementara Meraj Khalid, yang diangkat setelah pemecatan Benazir, menyatakan bahwa pemerintahnya sedang menyusun dakwaan terhadap Benazir dan suaminya, Asif Ali Zardari --yang masih dipenjarakan di Pakistan.

Khalid, anggota PPP yang menjauhkan diri dari Benazir, mengakui, dakwaan tersebut akan meliputi dakwaan mengenai pelanggaran hak asasi mansuia di Karachi --tempat sebanyak 375 orang telah tewas dalam kerusuhan etnik dan politik 1996.

Kehilangan dukungan

Namun upaya Benazir untuk memulihkan kabinetnya tampaknya menghadapi masalah setelah kekuatannya mulai goyah justru di provinsi kelahirannya, Sindh.

Banyak pengulas dan orang dalam PPP diberitakan berpendapat, pemecatan Benazir 5 November dan terbunuhnya adik laki-lakinya dapat merusak citra PPP di kubunya sendiri di bagian selatan Pakistan.

Menurut mereka, pengangkatan paman Benazir, Mumtaz Bhutto --tokoh nasional garis keras Sindh dan saingan politik Benazir, sebagai penjabat menteri besar provinsi itu menjadi bukti nyata upaya untuk memecah PPP.

Mumtaz Bhutto, pemimpin Front Nasional Sindh, menjadi meneteri besar Sindh awal 1970-an di bawah pemerintah ayah Benazir.

Pengangkatan Mumtaz Bhutto sebenarnya memperlihatkan betapa nama keluarga Bhutto masih dominan dalam kancah politik negeri tersebut. "Kharisma dan warisan nama Bhutto masih kuat, dan untuk menggeser seorang bermarga Bhutto, pemerintah memerlukan Bhutto lain", demikian komentar seorang pengulas.

Meskipun tidak memiliki banyak pengikut, Mumtaz Bhutto memiliki peluang menggabungkan pengikutnya dengan pengikut mendiang Murtaza Bhutto.

Pembunuhan atas Murtaza disebut-sebut memicu kemunduran bagi PPP, kendati tak ada orang yang menyalahkan Benazir atas kejadian tersebut.

Meskipun demikian, musuh-musuh PPP memanfaatkan kejadian itu untuk memadamkan partai tersebut, dan provinsi Sindh dianggap bukan lagi tempat subur bagi PPP. (20/12/96 09:52)

Tidak ada komentar: