Jumat, 23 Mei 2008

TIGA TAHUN BERLALU, HARAPAN RAKYAT PALESTINA TETAP SEMU

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 11/9/96 (ANTARA) - Proyek perdamaian Palestina-Israel, yang telah mengalami berbagai pasang-surut, sejak penandatanganan Deklarasi Prinsip-Prinsip di Washington 13 September 1993 terlihat masih "berjalan di tempat" dan banyak menemui "sandungan".

Walaupun banyak pihak menyuarakan optimisme saat deklarasi itu diterima kedua pihak tersebut, harapan rakyat Palestina masih jauh dari jangkauan, dan jurang pemisah tetap menganga lebar setelah tiga tahun berlalu.

Presiden Palestina Yasser Arafat telah menyampaikan optimisme bagi berdirinya negara Palestina merdeka, yaitu satu harapan yang sampai sekarang sulit terwujud.

Ketika Arafat menyampaikan harapan tersebut, Pemerintah Israel saat itu menegaskan deklarasi itu hanya akan mengesahkan Pemerintahan Administratif Palestina dan "bukan menjadi janin bagi negara Palestina merdeka".

Duta Besar Palestina di Jakarta Ribhi Y. Awad dalam wawancara dengan ANTARA mengakui bahwa proses perdamaian tersebut sampai sekarang belum memperlihatkan hasil nyata sebagaimana harapan Arafat selaku Pemimpin PLO.

Pihak Palestina, yang dalam perundingan dengan Israel berada pada posisi lemah, telah memperlihatkan itikad baiknya bagi perdamaian dengan mencela terorisme, dan bahkan mencabut klausul yang menentang kehadiran negara Yahudi dari Piagamnya.

Namun, posisinya yang lemah membuat pihak Palestina seringkali didikte oleh Israel. Kelemahan pihak Palestina ialah pihaknya tidak dapat menawarkan apa-apa sebagai imbalan perdamaiannya dengan negara Yahudi.

Selama Pemerintahan Israel dipegang Perdana Menteri Yitzhak Rabin (kini almarhum), pihak Palestina seringkali ditekan untuk mengekang kelompok-kelompok garis keras Palestina yang menentang perdamaian dengan Israel setiap kali terjadi serangan bunuh diri terhadap orang Yahudi.

Meskipun demikian, Ribhi Awad mengakui pula bahwa sejak penandatanganan Deklarasi Prinsip-Prinsip di Washington pada tiga tahun lalu, hubungan Palestina dan Israel "memasuki era baru".

Sebelum penandatangan, katanya, sikap dan perilaku semua bangsa Palestina, termasuk Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), berbeda dengan setelah penandatanganan.

"Penandatanganan Deklarasi Prinsip-Prinsip di Washington menjadi tonggak sejarah bagi era baru," katanya.

Maksudnya, sejak saat itu Palestina dan Israel memasuki "era perdamaian" karena sebelumnya rakyat Palestina memilih jalur perjuangan bersenjata, terutama "intifada" guna menentang pendudukan Israel.

Sekarang ini rakyat Palestina menghentikan dan meninggalkan pilihan penggunaan militer itu, dan PLO, serta Israel juga saling mengakui keberadaan masing-masing.

Perlu bukti

Akan tetapi, era baru bagi Paletina tampaknya takkan berarti apa-apa, jika yang terjadi hanya perundingan dan pembicaraan tanpa bukti nyata di lapangan.

Menurut Ribhi Awad, pada kenyataannya rakyat Palestina belum memperoleh kemerdekaan hakiki, sesuatu yang sangat didambakan oleh semua bangsa, dan bukan hanya rakyat Palestina.

Rakyat Palestina hingga kini masih sering diperlakukan sewenang-wenang oleh militer Yahudi, apalagi jika terjadi serangan bom terhadap warga Yahudi di dalam wilayah Israel. Penguasa Tel Aviv tak sungkan-sungkan "mengacak-acak" permukiman Palestina untuk mencari pelaku serangan.

Selain itu, penguasa Yahudi juga dengan "enteng" menutup wilayah-wilayah pendudukan dan melarang orang Palestina dari Tepi Barat, serta Jalur Gaza untuk bekerja di Israel, seperti yang terjadi saat ini.

Kendati Israel telah meredakan penutupan wilayah, ribuan orang Palestina tetap tak bekerja di Israel dan Pemerintah Otonomi Palestina, yang dipimpin Yasser Arafat, menderita kerugian juta dolar AS per hari.

Israel, sejak merdeka 14 Mei 1948, dikenal sebagai negara yang berdiri melalui pembersihan etnis dan tak segan-segan bertindak keras terhadap rakyat Palestina.

Ribhi Awad juga mempertanyakan ketulusan Pemerintah Israel untuk mencapai perdamaian dengan Palestina, karena sampai sekarang ratusan orang Palestina masih dipenjarakan oleh Israel.

Selain itu, nasib empat juta pengungsi Palestina tetap tak menentu, masa depan Jerusalem belum diselesaikan, masa depan rakyat Palestina masih tak pasti dan pembagian air tetap menjadi masalah.

Semua itu, kata Dubes Palestina di Jakarta tersebut, adalah "pekerjaan rumah" yang masih harus ditangani di saat proses perdamaian mulai memasuki tahun keempat.

Berdasarkan Deklarasi Prinsip-Prinsip, status Jerusalem dibahas pada tahun ketiga penerapan persetujuan itu.

Namun, pada masa pemerintahan Rabin, Israel menyerahkan Masjid Al-Quds kepada "peran sejarah" Jordania.

Ancaman Arafat

Karena menghadapi tersendat-sendatnya proses perdamaian dengan Israel, apalagi sejak Benjamin Netanyahu menjadi Perdana Menteri Israel bulan Mei 1996, Arafat mengancam akan memproklamasikan negara Palestina merdeka dengan Jerusalem Timur sebagai ibukota.

Hal itu, menurut Arafat, akan dilakukan jika Israel tak mau melanjutkan pembicaraan mengenai persetujuan perdamaian akhir.

Pejabat PLO Faisal Al-Husseini awal bulan September tahun ini mengisyaratkan terjadinya ketegangan baru dalam hubungan Palestina-Israel, karena proses perdamaian kedua pihak tersebut tak pernah mendekati perundingan mengenai penyelesaian akhir.

Arafat, menurut Reuter, memperingatkan Israel bahwa rakyat Palestina memiliki beberapa pilihan lain kalau negara Yahudi tidak menghormati persetujuannya dengan PLO.

Sejak kampanye pemilihan umum Israel awal tahun ini, Netanyahu membuat prihatin masyarakat internasional, bukan hanya Pemerintah Otonomi dan rakyat Palestina.

Netanyahu melontarkan kebijakan tak kenal kompromi mengenai proses perdamaian dengan Palestina.

Pemimpin Partai Likud itu menyatakan, takkan ada negara Palestina, takkan merundingkan Jerusalem Timur dan akan memperluas permukiman Yahudi di wilayah pendudukan.

Israel tetap menganggap Jerusalem sebagai ibukota utuh negara Yahudi, sementara itu Palestina mengingini Jerusalem Timur sebagai ibukota "negara Palestina merdeka".

Beberapa pejabat PLO juga dilaporkan telah memperingatkan bahwa "perang akan berkecamuk kembali" kalau pemerintah sayap kanan Israel meninggalkan proses perdamaian.

Salah satu pilihan, kata Arafat, adalah kemungkinan dihidupkannya kembali "intifada" enam tahun Palestina, yang dimulai tahun 1987.

"Intifada" adalah sebutan bagi para gerilyawan pejuang Palestina yang salah satu ciri khasnya adalah menggunakan lemparan batu sebagai senjata menghadapi Israel.

Netanyahu setelah mendapat tekanan dari berbagai pihak, akhirnya tanggal 4 September 1996 bersedia bertemu dengan Arafat, orang yang selalu dicapnya sebagai "teroris".

Namun, ketika menanggapi pertemuan kedua pemimpin tersebut, Ribhi Awad menyatakan. "Yang terpenting adalah apa yang dihasilkan dan bukan sekadar jabatan tangan." (11/09/96 20:22)

Tidak ada komentar: