Jumat, 09 Mei 2008

NEGERI 1001 MALAM ITU MASIH BERSINAR, TAPI ...

Oleh, Chaidar Abdullah

Baghdad, 14/10 (ANTARA) - Irak dengan Baghdad sebagai ibukota, tetap menyimpan pesona yang menakjubkan, tidak beda dengan kisah 1001 malam yang dilahirkan seorang pujangga kondangnya yang dikenal dengan nama Abu Nawas, tetapi embargo ekonomi dan dagang yang dijatuhkan PBB sekitar lima tahun lalu telah memporaporandakan kejayaan ekonomi negeri itu.

Dampak sanksi organisasi badan dunia itu memang tidak membuat negeri tersebut menjadi angker, kendati Duta Besarnya di Jakarta, Dr Saadoon Az-Zubaydi telah memperingatkan bahwa tingkat kejahatan di negerinya pasca Perang Teluk melonjak akibat kesulitan hidup yang dihadapi rakyatnya.

Namun, bertolak belakang dengan keterangan Duta Besar Irak di Jakarta itu, prasarana jalan dari perbatasan Jordania sampai ke ibukota Irak, Baghdad, tidak memperlihatkan bahwa negara tempat wafatnya "pemimpin para wali" Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani itu, pernah dikeroyok pasukan Multinasional yang dipelopori Amerika Serikat pada awal tahun 1991.

Dua jalur jalan dengan masing-masing dapat menampung dua mobil secara berjajar dan kondisinya yang mulus serta lurus, tidak membuat pendatang ke negeri tersebut jadi deg-degan meskipun perjalanan dilakukan dengan naik bus pada malam hari dan diperlukan waktu kurang dari delapan jam dari perbatasan dengan Jordania ke Baghdad.

Suasana lalulintas yang lengang dan keadaan sekitar yang tenang di negara tempat terbunuhnya putra Khalifah Keempat dalam Islam Ali bin Thalib -- Husein bin Ali -- di padang Karbala pada jaman kekuasaan Bani Umayan di Mesir, tidak membuat hati jadi "mengkerut" walaupun tidak pernah lepada dari ingatan bahwa Irak adalah negara yang sedang dirundung kerusuhan di dua wilayah.

Di bagian utara negeri itu, Suku Kurdi terus berupaya mendirikan negara sendiri, sementara di belahan selatan, Baghdad menghadapi kaum Syi'ah.

Selain masalah-masalah tersebut, embargo PBB semakin membuat berat kesulitan yang dihadapi rakyat Irak dan membuat nilai tukar mata uangnya merosot ratusan persen.

Sebelum tahun 1990, kata Saadoon di Jakarta belum lama ini, rakyat Irak boleh merasa bangga dengan ketangguhan dinarnya -- satu dinar bernilai 3,5 dolar AS -- tapi sekarang di Baghdad, satu dolar AS berharga 600 dinar Irak.

Dampak lain belenggu embargo PBB atas negara Saddam Hussein tersebut ialah setiap pendatang ke negara di belahan timurlaut jazirah Arab itu harus mendaftarkan barang-barang elektronik yang dibawanya -- seperti kamera, kamera Tv dan video, radio sampai tape recorder kecil yang biasa dibawa wartawan.

Jadi, tidak perlulah orang bertanya-tanya apakah ia harus menyebutkan atau tidak dalam kartu imigrasi jika ia membawa "Lap Top" atau "personal computer."

Di Amman, ibukota tetangga Irak, Jordania, seorang mahasiswa Indonesia yang sedang menimba ilmu di Kerajaan Hashenite (Bani Hashim) tersebut sempat memberitahu ANTARA bahwa di pos perbatasan JOrdania-Irak, setiap pendatang akan menghadapi peraturan seperti itu sejak berakhirnya Perang Teluk tahun 1991.

Tujuanya? Jelas untuk mencegah barang-barang elektronik di negara yang menyelenggarakan referendum secara demokratis untuk pertama kalinya hari Ahad 15 Oktober itu keluar dari Irak, sebab sejak PBB memberlakukan embargo dagang dan ekonomi, tidak satu barang elektronik pun memasuki Irak

Oleh karena itu, untuk mencegah pasar barang elektronik di negerinya kehabisan simpanan akibat "diangkuti" pendatang, pemerintah di Baghda memberlakukan peraturan seperti itu.

Selain itu, Pemerintah saddam Husein juga memberlakukan larangan bagi pendatang untuk membawa masuk mata uang dinar Irak dari luar.

Kehidupan normal, cuma...

Pada saat yang sama, kehidupan sehari-hari kelihatan berjalan normal di ibukota Irak, dari pagi sampai sore kesibukan terlihat di jalan-jalan -- lalulintas ramai lalulalang meskipun mobil-mobil yang terlihat adalah buatan pra tahun 1990, apalagi mobil yang dioperasikan sebagai taksi.

Pusat-pusat perbelanjaan juga ramai dikunjungi orang. Di pusat pertokoan terkenal di Baghdad, Al Rashid, toko-toko buka dan pedagang lain dengan menggunakan sejenis meja menggelar dagangan mereka mulai dari sepatu, pakaian sampai barang elektronik yang ingin dilindungi pemerintah.

Akan tetapi, pengunjung yang ramai bukan berarti terjadi banyak transaksi dan keuntungan besar bagi para pedagang.

"Pengunjung memang banyak, tapi daya beli masyarakat rendah," demikian komentar seorang wartawan asing di Irak. Bagaimanan rakyat dapat memiliki daya beli tinggi kalau mereka mneghadapi kesulitan dalam memperoleh uang.

Transaksi yang masih banyak terjadi adalah pada pedagang keperluan sehari-hari, restoran dan tempat-tempat minum teh.

Keadaan para pedagang buah tidak jauh berbeda dengan mereka yang menjual pakaian dan alat eletronik, walaupun harga buah lokal tidak sampai "menyundul langit." Harga anggur Irak, 250 dinar per kg, apel 600 dinar dan Thamar (kurma Irak), 350 dinar per kg.

Ramainya mobil di jalan, bukan berarti rakyat masih kaya sebab harga bensin di negeri tersebut "seperti dikasih saja layaknya" yaitu 40 seharga 10 dinar Irak.

Keadaan ekonomi rakyat Irak pun dapat dikatakan morat-marit sejak negeri itu dicengkeram embargo lima tahun lalu, kendati "dari luar" dan secara sepintas kondisi itu tak terlihat.

Keadaan ini diakui Muhammad, seorang pengemudi taksi gelap yang biasa mangkal di Al-Mansour Melia Hotel di Baghdad.

"Sebelum tahun 1990, rakyat Irak hidup makmur," katanya, tapi setelah Perang Teluk, kesulitan mulai mencengkeram."

Penghasilan Muhammad rata-rata per hari saat ini 4.000 dinar Irak, sedangkan ia harus menanggung ibu dan 10 orang adiknya, ayahnya telah meninggal dan penghasilan seperti itu membuat ia dan keluarganya harus hidup prihatin.

Kalau saja penghasilan tersebut diperolehnya pada "masa jaya" dinar Irak, ia dan keluarganya tentu dapat hidup secara kecukupan, tapi sekarang uang sebanyak itu hanya bernilai tidak sampai tujuh dolar AS di bank resmi.

Kini, setelah lima tahun berjalan, embargo dagang dan ekonomi PBB, benar-benar telah membuat morat-marit rakyat, walaupun mereka masih dapat menyembunyikannya dari para pendatang.

Di Jakarta, Duta Besar Irak untuk Indonesia menyatakan bahwa kondisi eknomi rakyatnya sudah kacau balau, sampai-sampai mereka harus menjual barang-barang mereka.

Selain itu, tambahnya, Irak secara politik terkepung, secara ekonomi terkungkung dan secara sejarah, terancam. (14/10/95 15:30)

Tidak ada komentar: