Jumat, 23 Mei 2008

KEMATIAN MURTAZA LEMPAR BENAZIR KE DALAM KRISIS BARU

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 23/9 (ANTARA) - Belum berhasil mengatasi kemelut akibat "digoyang" kelompok oposisi, Perdana Menteri Pakistan Benazir Bhutto menghadapi krisis baru setelah kematian adik laki-lakinya, Murtaza Bhutto, dalam baku tembak di Karachi, Jumat (20/9).

Kematian Murtaza akibat luka dalam baku tembak antara pengawalnya dan polisi di dekat kediamannya di Karachi menambah noda dalam sejarah dan membuat Benazir kehilangan satu lagi anggota keluarganya dalam kekacauan di negerinya.

Ayah Benazir, mantan presiden dan perdana menteri Zulfikar Ali Bhutto dihukum mati di Rawalpindi 4 April 1979, dua tahun setelah terguling dalam kudeta militer yang dipimpin bekas kepala staf militer Mohammad Ziaul Haq.

Enam tahun setelah itu, Pakistan kembali diterjang berita mengejutkan mengenai kematian adik laki-laki Benazir, Shahnawaz Bhutto, di kediamannya di Cannes, Perancis.

Bagi Benazir, yang keluarganya selalu dibayangi ancaman maut, kematian Murtaza (42) dilaporkan Reuter menjadi pukulan berat, apalagi saat ini pemerintahnya sedang menghadapi kemelut dengan kelompok oposisi.

Sebelumnya keluarga Bhutto dan Partai Rakyat Pakistan (PPP)-nya, yang didirikan pada 1968, menjadi incaran hukuman selama 11 tahun kekuasaan Ziaul Haq sampai kematiannya dalam kecelakaan pesawat di Pakistan Agustus 1988.

Selama masa kekuasaan Ziaul Haq, Benazir dan ibunya Begum Nusrat Bhutto tetap tinggal di Pakistan dan berusaha memperbaiki nama ayahnya, tapi kedua saudara laki-lakinya hidup di pengasingan di luar negeri.

Murtaza semasa hidupnya memimpin perlawanan terhadap junta militer di negerinya dari luar negeri.

Ia dilaporkan AFP mendirikan kelompok gelap Organisasi Al-Zulfikar (AZO) -- yang dituduh melakukan sabotase dan aksi subversif, termasuk pembajakan satu pesawat Pakistan pada 1981.

Ia bahkan tidak mau kembali ke negerinya setelah kematian Ziaul Haq dan Benazir menjadi perdana menteri pada 1988.

Murtaza baru kembali ke Pakistan November 1993 tapi ditangkap dengan tuduhan kriminal.

Benazir saat itu mendesak Murtaza untuk membersihkan namanya di pengadilan.

Murtaza dibebaskan dengan jaminan dan Maret 1995 membentuk faksi saingan Benazir, Partai Shahid Bhutto, dan menuduh kakak perempuannya bekerjasama dengan orang-orang yang mengakibatkan kematian ayah mereka.

Beda pendapat

Awal September, Murtaza, menurut AFP, menyatakan perbedaan pendapat antara dia dan Benazir berawal pada sekitar 1986, tidak lama setelah Ziaul Haq memperlunak pengekangan dalam politik.

Saat itu, kata Murtaza, Benazir menyatakan ingin terjun ke dunia politik di bawah pemerintahan Ziaul Haq dan itu adalah awal terciptanya jurang pemisah antara mereka berdua.

Murtaza juga pernah menuduh pemerintah Benazir melakukan korupsi dan bertindak tidak sesuai dengan peraturan.

Sebelum terjadi baku tembak antara pengawal pribadinya dan polisi, Murtaza mengulangi tuduhan bahwa pemerintah kakaknya "melakukan dua pemboman di Karachi, yang menewaskan satu orang dan melukai tiga orang lagi".

Menurut dia, batangan dinamit yang digunakan adalah bahan peledak yang dikeluarkan pemerintah dan diserahkan kepada dua anggota polisi untuk dipasang di jalan-jalan.

Peledakan tersebut diduganya dilakukan sebagai dalih untuk menindas pengikutnya sebelum berlangsungnya pemilihan umum lokal.

Namun beberapa personil polisi dilaporkan malah menuduh pengikut Murtaza sebagai pelaku pemboman, meskipun mereka tidak menutup kemungkinan keterlibatan kelompok- kelompok lain termasuk Gerakan Muhajir Qaumi (MQM).

Kelompok tangguh di Karachi itu telah lama merongrong pemerintahan Benazir.

Sementara itu beberapa partai politik oposisi yang telah berusaha menggulingkannya diberitakan menuduh Benazir bersalah dalam kasus kematian adik laki-lakinya tersebut.

Tersangka utama dalam kasus pembunuhan Murtaza, menurut kantor-kantor berita transnasional adalah suami Benazir, Asif Zardari -- yang dicap oleh Murtaza sebagai "raja korupsi".

Seorang anggota Partai Shahid Bhutto menuduh Zardari memerintahkan polisi agar menguntit kendaraan Murtaza dan kemudian menggeledahnya.

Pemimpin Jamaat-i-Islami, Qazi Hussain Ahmad, dilaporkan ikut menuduh Benazir "tak dapat mencegah" kematian adiknya.

Ia menuduh perdana menteri Pakistan itu "mengubah Pakistan menjadi negara polisi".

Benazir oleh pemimpin Front Pembebasan Nasional, Meraj Mohammed Khan, juga dituduh telah memberi "kekuasaan terlalu besar kepada polisi".

Murtaza tewas dalam baku tembak yang terjadi ketika polisi yang sudah menunggu di luar rumahnya di Karachi menghentikan mobilnya dan menggeledahnya.

Terlepas dari benar-tidaknya tuduhan kelompok oposisi, yang jelas kematian Murtaza merugikan posisi Benazir, yang memang sedang menghadapi penentangan kuat pihak oposisi dan menuntutnya meletakkan jabatan sebelum masa jabatannya berakhir 1998.

Kebijakan Benazir tahun ini dipandang telah membawa negerinya ke tebing kerusuhan.

Benazir saat ini sudah menghadapi masalah ekonomi sehingga memaksanya memberlakukan anggaran ketat untuk tahun fiskal 1996/97 dengan harapan akan dapat membujuk Dana Moneter Internasional untuk melanjutkan dikeluarkannya pinjaman 600 juta dolar AS, yang kini macet.

Kini kematian Murtaza bukan tidak mungkin akan meningkatkan tekanan dan mengancam kedudukan Benazir karena "keselamatan saudara perdama menteri saja tidak terjamin apa lagi orang lain". (5/22/09/96 12:53)

Tidak ada komentar: