Jumat, 23 Mei 2008

IRAK INGIN REDAKAN KRISIS, AS TINGKATKAN KEKUATAN DI TELUK

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 14/9/96 (ANTARA) - Situasi di Timur Tengah terus berkembang dengan akhir yang sulit diterka hingga dua pekan setelah Baghdad mengerahkan tentara ke Irak Utara, saat Presiden Irak Saddam Hussein mengajukan tawaran untuk meredakan ketegangan, sementara itu AS meningkatkan penggelaran kekuatannya.

Irak hari Sabtu (14/9), menurut Reuter, menyatakan bahwa dengan menghentikan reaksi militernya terhadap pelanggaran atas wilayah udaranya Baghdad memberi bukti lagi mengenai keinginannya untuk menghindari pecahnya krisis baru di Teluk.

Namun, sehari sebelumnya Presiden Amerika Serikat (AS) Bill Clinton memerintahkan keberangkatan tambahan 5.000 personel infanteri ke Kuwait guna bergabung dengan 1.200 prajurit AS yang sedang melakukan pelatihan di dekat perbatasan dengan Irak.

Hari Jumat (13/9) delapan pesawat pembom F-117A "Stealth", dilaporkan AFP, bertolak menuju menuju Teluk.

Pesawat-pesawat yang dikenal dengan nama "Siluman" itu tak tertangkap radar dan dilengkapi bom-bom berkendali laser.

Pesawat yang konon hanya dimiliki AS dengan jumlah 59 unit tersebut digunakan untuk menghantam sasaran-sasaran di Baghdad selama Perang Teluk tahun 1991, ketika pasukan multinasional yang dipimpin AS menghalau tentara Irak dari Kuwait.

AS juga mengerahkan kapal induk USS Enterprise, yang mengangkut sebanyak 75 pesawat tempur, dari Laut Adriatik dan dijadwalkan tiba di Teluk hari Ahad (15/9) guna bergabung dengan kapal induk USS Carl Vinson.

Selain itu, beberapa pesawat pembom B-52 AS juga sudah dikirim ke pangkalan pulau Diego Garcia, Inggris, yang berada dalam jarak serang ke Irak.

Pesawat-pesawat pembom tersebut digunakan untuk meluncurkan rudal-rudal jelajah satu pekan sebelumnya dalam tindakan balasan terhadap serbuan militer Baghdad ke Irak Utara.

Penggelaran kekuatan tempur itu mencerminkan keraguan AS mengenai pernyataan Irak untuk meredakan ketegangan dua pekan Irak-AS.

Irak telah mengumumkan bahwa Baghdad memperlihatkan itikad baik untuk menyelesaikan masalah paling akhir tersebut melalui cara-cara damai dengan menghormati kedaulatan nasionalnya, hukum internasional dan Piagam PBB.

Baghdad juga telah mengumumkan gencatan senjata di Irak Utara dan mengirim bahan bakar ke wilayah Kurdi Irak tersebut.

Semua tindakan tersebut, kata harian pemerintah Baghdad Al-Jumhuriyah yang dikutip Reuter, bersifat sementara dan ditujukan "untuk membuat AS tidak punya alasan serta dalih guna melakukan tindakan kejahatan".

Surat kabar itu menuduh tindakan AS mengirim kapal perang, kapal induk serta pesawat tempur dan pembom adalah "tindakan ala-cowboy" dalam menangani masalah.

Dalam menanggapi "uluran tangan" Irak tersebut, setelah mendapat anjuran Rusia, AS dilaporkan bertindak hati-hati dan beberapa pejabatnya menyatakan mereka ingin menyaksikan tindakan nyata dan bukan "omong kosong".

Bill Clinton hari Jumat juga dilaporkan mengadakan pembicaraan dengan para penasehat keamanannya guna memutuskan tindakan selanjutnya dalam percekcokan dengan Irak, termasuk pengiriman Menteri Pertahanan William Perry ke Teluk.

Lawatan Perry ditujukan untuk menghimpun dukungan di kalangan aliansi AS di Teluk.

Sejak Washington menyerang sasaran-sasaran militer di Irak Selatan satu pekan sebelumnya, AS mendapat kecaman dari banyak pihak kecuali Inggris.

Pemerintah Clinton juga sedang berusaha mendapat dukungan di dalam negerinya terutama dari Kongres bagi kemungkinan dilancarkannya aksi militer terhadap Irak.

Namun, kali ini Clinton tampaknya tak ingin bertindak tergesa-gesa sampai ia benar-benar mendapat dukungan kuat sebelum melancarkan serangan.

Salah satu penyebabnya ialah keinginan Clinton untuk melancarkan serangan lagi terhadap Irak diberitakan telah memicu gelombang penentangan baik di dalam maupun di luar negeri.

Bahaya terbatas

Meskipun Irak --saat menyaksikan meningkatnya penggelaran kekuatan tempur AS-- menyatakan "akan menghadapi dengan gagah berani semua ancaman", banyak ahli mengatakan kepada Reuter bahwa pihak Baghdad hanya lah ancaman terbatas terhadap armada perang AS.

Irak oleh sebagian pihak dianggap masih mampu menyebar ranjau di perairan Teluk dan paling tidak separuh kekuatan militernya telah pulih, tapi ancaman kekuatan laut Irak sangat kecil, karena kehancuran besar kekuatan lautnya selama Perang Teluk 1991.

Saddam diakui masih dapat menyebar ranjau, tapi kekuatan angkatan lautnya diragukan.

Meskipun Irak dipandang masih dapat mengoperasikan kekuatan udara, termasuk menggunakan pesawat-pesawat MiG dan Sukhoi, namun AS tampaknya yakin armada lautnya mampu melakukan tindakan yang tepat dan mengatasi ancaman udara Baghdad.

Angkatan Udara Irak juga menghadapi pukulan keras selama Perang Teluk dan sanksi-sanksi PBB atas Baghdad sejak tahun 1990 telah menghalanginya memperoleh suku cadang, serta meningkatkan kemampuan pesawat-pesawatnya.

Meskipun demikian kekhawatiran masih membayangi banyak pejabat dan penduduk Kuwait mengenai kemampuan Irak untuk meluncurkan rudal-rudal Scud, yang selama Perang Teluk sempat membuat "kalang-kabut" AS.

Pejabat-pejabat PBB yang bertugas memusnahkan senjata penghancur massal Irak menyatakan 16 rudal Scud Irak masih belum ditemukan.

Harga minyak

Akibat krisis yang terus berlangsung di Teluk tersebut harga minyak dunia dilaporkan tetap tinggi hari Jumat (13/9), karena para pedagang tidak berminat menjual.

Para pedagang tampaknya berjaga-jaga menghadapi kemungkinan tersiarnya laporan mengenai serangan baru AS terhadap Irak.

Harga minyak ditutup di pasar minyak mentah Brent sebesar 24,24 dolar AS per barel, naik 37 sen dari harga sebelumnya.

Ini adalah harga tertinggi di "International Petroleum Exchange", London, sejak Januari 1991, ketika pasukan multinasional memulai serangan terhadap pasukan Irak di Kuwait.

Harga minyak dunia pada pekan kedua September dilaporkan haik hampir dua dolar AS per barel karena adanya kekhawatiran tindakan Saddam menerima permintaan bantuan Partai Demokratik Kurdistan (KDP) untuk menghalau Uni Patriotik Kurdistan (PUK) akan mengganggu pemasokan minyak dari Teluk.

Wilayah Teluk memiliki 70 persen kandungan minyak dunia dan memasok sedikitnya seperempat hasil minyak dunia.

Seorang pialang minyak menyatakan, masalahnya ialah Arab Saudi menjadi satu-satunya negara penghasil minyak yang memiliki produksi berlebih sehingga jika terjadi ketegangan di daerah itu, harga minyak dapat dipastikan ikut terganggu.

Arab Saudi, setelah Perang Teluk, menjadi penghasil minyak terbesar di dunia dengan produksi sekitar delapan juta barel per hari.

Jika krisis saat ini juga mempengaruhi penghasil minyak lain yang menjadi tetangga Arab Saudi, Kuwait, maka harga minyak dikhawatirkan akan lebih tinggi lagi.

Kuwait, yang diduduki Irak antara tahun 1990 dan 1991, telah menyampaikan kesediaan menampun pesawat-pesawat Stealth AS --tindakan yang dipandang Baghdad sebagai "pernyataan perang".

Sekalipun krisis itu tidak meningkat, banyak pedagang dan pengulas masalah minyak dilaporkan berpendapat harga minyak dunia takkan turun dalam waktu dekat, karena permintaan dari Barat akan bertambah sehubungan dengan datangnya musim dingin.

Persoalan lain yang menahan turunnya harga minyak adalah tertundanya penerapan persetujuan penjualan minyak buat pangan Irak-PBB.

Persetujuan tersebut, yang ditandatangani tanggal 20 Mei, akan mengizinkan Irak menjual minyak seharga dua miliar dolar AS selama enam bulan --sama dengan sekitar 700.000 barel per hari-- guna mengumpulkan uang untuk membeli keperluan kemanusiaan dan medis buat rakyat Irak.

Terlepas dari dampaknya terhadap harga minyak dunia, Presiden Iran Ali Akbar Hashemi Rafsanjani menuduh Irak dan AS bersalah dalam krisis saat ini.

Amerika Serikat, menurut Rafsanjani, telah mendorong ketegangan dalam krisis dengan Irak guna mempertahankan kehadiran serta pengaruhnya di wilayah yang mudah bergolak tersebut.

Sementara itu, Irak dianggapnya malah memberi peluang kepada AS untuk melakukan tindakan tersebut.

Tujuan AS menciptakan ketegangan di Teluk ialah untuk memelihara "kehadirannya secara tidak sah di Timur Tengah", kata Presiden Iran tersebut.

Sementara itu, yang menjadi korban akibat semua krisis tersebut adalah rakyat Irak, yang sudah menderita akibat enam tahun embargo dagang PBB.
(14/09/96 18:35)

Tidak ada komentar: