Jumat, 09 Mei 2008

SADDAM BERUSAHA PUPUS "PUKULAN" AKIBAT PEMBELOTAN

Oleh Chaidar Abdullah

Baghdad, 19/10 (ANTARA) - Presiden Irak Saddam Hussein -- yang meraih mayoritas mutlak dalam referendum yang baru pertama kali diadakan sejak ia memangku jabatan sekitar 27 tahun -- berusaha mengangkat kembali dukungan rakyatnya.

Ia juga berupaya mendobrak pendapat-pendapat negatif terhadap dirinya sejak pembelotan menantu dan keponakannya Agustus lalu.

Untuk menarik perhatian dunia berkaitan dengan popularitasnya di dalam negeri, ia menyelenggarakan referendum pada 15 Oktober untuk menentukan apakah rakyat Irak akan mendukungnya buat masa jabatan tujuh tahun mendatang.

"Tindakan berani" presiden Irak kelahiran provinsi Tikrit itu memang tidak sia-sia, Senin (16/10) pukul 10.00 waktu setempat, pejabat tinggi nomor dua setelah dirinya di Dewan Komando Revolusioner, Izzat Ibrahim, mengumumkan bahwa 99,96 persen rakyat Irak, atau 8.348.700 dari 8.357.560 memberi dukungan kepada Saddam.

Tetapi Ketua Komite Referendum tersebut tidak menyebutkan berapa suara yang tidak mendukung kepemimpinan Saddam.

Keberhasilan presiden Irak itu memperoleh dukungan yang hampir mutlak itu digembar-gemborkan harian Irak sebagai kegagalan Amerika Serikat menaklukkan Saddam -- tindakan yang telah dilakukan Washington sejak berakhirnya Perang Teluk 1991.

Dukungan kuat buat presiden Irak itu terlihat ketika ANTARA mengunjungi beberapa tempat pemungutan suara di Baghdad; di setiap tempat pemungutan rombongan wartawan dan pengamat asing disambut dengan gegap-gempita teriakan, "Na'am, na'am lilqaid Saddam Hussein (Ya, ya buat Presiden Saddam Hussein)".

Teriakan itu bukan hanya dikumandangkan oleh anak-anak, bahkan oleh laki-laki dewasa dan para wanita baik muda maupun yang berusia setengah baya.

Seorang pengemudi taksi berusia lewat tengah baya bahkan sempat menghadang dan berkata, "Sampaikan kepada pemerintah Amerika, Inggris dan Eropa bahwa Saddam Hussein adalah pilihan kami. Dia lah penyatu Irak, dan semua rakyat mencintai dia. Dia adalah seorang laki-laki sejati."

Beberapa hari sebelum pemungutan suara, banyak spanduk dengan tulisan bernada mendukung Saddam seperti yang diteriakan para pemilih, bertebaran di kota Baghdad.

Pada saat pemungutan suara, jalan-jalan Baghdad yang biasanya ramai dilintasi berbagai jenis kendaraan terlihat lengang meski tak sampai "membuat Baghdad menjadi kota mati".

Ketika mengumumkan hasil penghitungan suara, Izzat Ibrahim meminta "musuh-musuh Irak agar menyisihkan kebencian mereka dan menerima baik hasil referendum".

Bagi Saddam, referendum yang tak pernah diadakan sebelumnya itu, "membuktikan betapa rakyat masih mendukungnya, meskipun mereka harus hidup selama lima tahun di bawah cengkeraman embargo dagang dan ekonomi PBB".

Embargo PBB telah menghancurkan nilai tukar dinar Irak, yang sebelum 1990 berharga 3,5 setengah dolar per dinar tapi sekarang satu dolar bernilai 600 dinar Irak di bank.

Telah diduga

Meskipun menghadapi tekanan embargo, Saddam telah diperkirakan akan mampu mempertahankan posisinya karena sampai sekarang belum ada orang yang mampu mengantikannya.

Beberapa waktu lalu tersiar berita bahwa anaknya, Uday akan menggantikan sang ayah. Tetapi saudara tiri Saddaam, Barzan Ibrahim At-Tikriti -- yang kini menjadi duta besar Irak untuk PBB di Jenewa, telah meramalkan bahwa Uday ataupun saingan-saingaan Saddam tak mampu memimpin Irak sebagaimana yang dilakukan Saddam.

Ia berpendapat keadaan di Irak akan semakin buruk jika Saddam meletakkan jabatan karena Irak memerlukan orang yang mampu mempertahankan persatuan negeri itu.

Di Baghdad sendiri beberapa diplomat asing menyampaikan pandangan serupa, meskipun ada yang menyebut Izzat Ibbrahim sebagai orang "mungkin" dapat menjadi pengganti Saddam.

Banyak rakyat juga tampaknya menyukai wakil pemimpin Dewan Komando Revolusioner tersebut. Itu terlibat dengan riuhnya sambutan para pemberi suara setiap kali Izzat Ibrahim mengunjungi tempat pemungutan suara.

Izzat Ibrahim benar-benar "turun ke bawah" untuk menggalang dukungan buat pemimpin Irak.



Wartawan dan diplomat asing yang berada di Baghdad sehubungan dengan referendum tersebut, mengatakan bahwa pemungutan suara suara itu bertujuan meredam ramainya laporan sehubungan dengan pembelotan bekas menteri perindustriannya, Jenderal Hussein Kamel bersama saudaranya dan istri mereka -- keduanya putri Saddam Hussein, ke Jordania Agustus lalu.

Segera setelah pembelotan itu, media massa internasional ramai menyiarkan komentar dan reaksinya.

Amerika Serikat, yang berpendapat Saddam sedang menghadapi saat-saat paling lemah, serta-merta mendekati tetangga-tetangga Irak agar mengupayakan penggulingan presiden Irak itu.

Penggulingan Saddam telah menjadi obsesi terbesar AS sejak pasukan multinasional yang dipimpinnya mengusir pasukan Irak dari Kuwait pada 1991.

Banyak pengritik kebijakan AS di Teluk telah menyatakan Barat seharusnya melanjutkan aksi mereka ke Baghdad untuk menuntaskan "pekerjaan" yang dirintisnya di Kuwait itu.

Namun pemerintah AS selama ini berusaha melanjutkan keputusan bekas presiden George Bush untuk tidak melakukan tindakan itu dengan alasan tindakan tersebut tak sesuai dengan resolusi-resolusi PBB.

Meskipun tidak menggunakan kekautan militer secara langsung, Washimgton tetap berusaha untuk lebih mengucilkan Irak dengan mengirim Asisten Menteri Luar Negerinya Robert Pelletreau ke empat negara Teluk belum lama ini.

"Kunci" upaya AS terletak pada Jordania -- yang memberi suaka kepada para pembelot Irak dan bersimpati kepada Irak selama Peran Teluk awal 1991.

Pemerintah di Amman -- yang setelah Perang Teluk menerima pasokan 70.000 barel minyak per hari dari Irak -- kelihatannya "telah mulai menjauhkan diri dari Baghdad."

Namun Jordania tidak setuju dengan penggulingan Saddam dan juga menampik gagasan untuk memecah kesatuan wilayah Irak, walaupun Raja Hussein pernah menyampaikan pidato bernada keras terhadap Saddam.

Upaya AS untuk membuat Amman menghentikan pembelian minyak dari Irak -- pengecualian yang diberikan PBB dalam resolusinya setelah Perang Teluk -- sampai saat ini tak membuahkan hasil.

Belakangan Jordania menyatakan bahwa keributan dunia mengenai pembelotan Hussein Kamel tak lebih dari "badai di musim panas".

Di Jakarta belum lama ini, Duta Besar Irak untuk Indonesia Dr. Saadoon Az-Zubaydi, ketika menanggapi pembelotan tersebut menyatakan, pembelotan itu tidak lebih dari "badai di dalam cangkir".

"Jordania dan Irak tidak mungkin dipisahkan," katanya. Kedua negara berasal dari satu induk. Bani Hasyim (Hashemite)." (19/10/95 11:29)

Tidak ada komentar: