Sabtu, 10 Mei 2008

MILITER RUSIA HADAPI DAMPAK KONFLIK CHECHNYA

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 25/12 (ANTARA) - Presiden Rusia Boris Yeltsin, yang ingin memadamkan aksi separatis Chechnya dengan mengerahkan ribuan tentaranya, justru menghadapi kemelut dalam tubuh militernya.

Tak sampai setengah bulan setelah Yeltsin mengerahkan kekuatan tempurnya ke republik Kaukasus Utara itu, Presiden Rusia malah menghadapi gejala tak menguntungkan karena, sekalipun serangan terhadap ibukota Chechnya, Grozny, dilancarkan, pasukan Rusia mulai kehilangan banyak komandannya.

Rusia mengerahkan tak kurang dari 10.000 tentara dengan didukung tank dan pesawat tempur tanggal 11 Desember 1994.

Yeltsin kini harus segera bertindak secepatnya untuk menyelesaikan konflik Chechnya atau ia akan dikucilkan oleh militernya.

Tak lebih dari 11 hari setelah kekuatan tempur Rusia dikerahkan ke republik separatis yang mayoritas penduduknya Muslim itu, militer Kremlin dilaporkan mulai menghadapi kemelut di dalam dirinya sendiri.

Silang pendapat di kalangan komando militer Rusia semakin jelas dengan mundurnya Jenderal Edouard Vorobiev, wakil Komandan Angkatan Darat Rusia.

Namun Kementerian Pertahanan Rusia dilaporkan kantor berita AFP tak bersedia membenarkan atau membantah bahwa Menteri Pertahanan Pavel Grachev telah minta Vorobiev agar mundur.

Vorobiev dilaporkan lebih suka mundur dibandingkan dengan menjadi komandan operasi militer Rusia di Chechnya.

Pemimpin Komite Pertahanan Duma, Sergei Yushenkov, dilaporkan menyampaikan kekagumannya atas tindakan Vorobiev, yang tak ingin menodai tangannya dengan tindakan tak bermoral di Kaukasus Utara.

Komandan pasukan darat Rusia Kolonel Jenderal Vladimir Semenov, menurut laporan UPI, tentu saja tidak menerima baik pengunduran diri deputinya tersebut.

Namun, banyak komandan tentara Rusia dilaporkan tak mau membuat nyawa anak buahnya terancam di Chechnya.

Akibatnya, hampir dua pekan sejak Yeltsin memerintah pasukan Rusia memasuki republik di Kaukasus Utara itu, yang terjadi hanyalah pengepungan atas Grozny dan omong besar Grachev untuk menggilas pasukan Dudayev tak terbukti.

Banyak pejabat Rusia sebelumnya juga berpendapat militer negerinya akan dengan cepat dapat menghentikan perlawanan para petempur Dudayev, yang memproklamasikan pemisahan diri Republik Chechnya tahun 1991.

Grachev, setelah menyaksikan kekacauan dalam tubuh militernya, mengambilalih komando misi militer Rusia di Chechnya dan memecat seluruh pemimpin satuan tempurnya bagi operasi di Chechnya.

Ia telah memerintahkan pengunduran diri enam komandan militernya dalam operasi di Kaukasus Utara, termasuk Deputi Satu Menteri Pertahanan Georgy Kondratyev.

Sementara itu, banyak pemerintah asing merasa cemas untuk mempertahankan hubungan dengan Rusia. Inggris dan Perancis bahkan telah menyampaikan keprihatinan atas tindakan Yeltsin mengerahkan kekuatan tempurnya ke Kaukasus Utara.

Amerika Serikat, yang biasanya cepat bereaksi dalam menanggapi konflik Rusia-Chechnya, hanya berdiam diri dan menyatakan "itu adalah urusan intern Rusia".

Tetapi, Sekretaris Jenderal PBB Boutros Boutros-Ghali berpendapat, masyarakat internasional mesti membantu Rusia menyelesaikan konflik tersebut, karena perpecahan dalam Federasi Rusia akan "memiliki dampak" terhadap negara lain bekas Uni Sovyet.

Kurang pelatihan?

Lambannya kemajuan gerak militer Rusia di Chechnya, meskipun dalam pertempuran paling akhir 12 orang dilaporkan tewas, menimbulkan keraguan mengenai kesiapan tempur dan moril pasukan Kremlin tersebut.

Padahal, baik secara personel maupun peralatan perang, tentara Rusia jauh lebih unggul dibandingkan dengan para petempur Chechnya, tetapi mereka tampaknya kalah dalam tekad.

Chechnya, yang memiliki 800.000 penduduk, membuat pengamat berpendapat telah memperlihatkan rendahnya tingkat kesiapan moril dan militer Rusia.

Rendahnya moril pasukan Rusia terlihat dalam operasi yang diperkirakan berlangsung cepat tetapi ternyata berlarut sampai dua pekan tanpa tanda bahwa petempur Chechnya akan dapat dilumpuhkan.

Pasukan Rusia di sebelah utara Grozny dilaporkan hanya berdiam diri, dan komandan salah satu dari tiga satuan tempur bahkan telah menolak untuk bertempur meskipun angkatan udara melancarkan penyerangan terhadap sasaran sipil di ibukota republik yang memproduksi 2,6 juta dari 354 juta ton hasil minyak Rusia.

Banyak pengamat militer dikutip Reuter berpendapat, buruknya penampilan pasukan Rusia di Chechnya mencerminkan dampak pemotongan anggaran dan kurangnya kegiatan pelatihan.

Moskwa secara tetap telah mengurangi anggaran militer dan jumlah tentaranya selama lima tahun terakhir ini, dengan alasan Rusia tak perlu lagi mempertahankan kehadiran militer berharga mahal itu karena Perang Dingin telah usai.

Presiden Republik Ingushetia --yang bertetangga dengan Chechnya-- Jenderal Ruslan Aushev juga berpendapat operasi di Chechnya telah dilancarkan dengan tidak kompeten sama sekali.

Bagaimanapun pelaksanaan operasi militer Rusia di Chechnya, yang jelas tentara Rusia --yang lebih unggul dalam personel dan peralatan-- kelihatan tak banyak berkutik dalam menghadapi, apalagi memadamkan, tekad para petempur Chechnya.

Pertempuran pun berkecamuk terus di republik Kaukasus Utara tersebut, penduduk sipil berjatuhan jadi korban dan militer Rusia telah kehilangan tak kurang dari 30 personel.

Pada saat yang sama di Moskwa kini berkembang beraneka pendapat umum dari ibu yang putranya dikirim ke medan tempur.

Angket pendapat umum belum lama ini memperlihatkan hampir 60 persen rakyat Moskwa menentang aksi militer Rusia di Chechnya. (25/12/95 22.50)

Tidak ada komentar: