Jumat, 02 Mei 2008

PEMULIHAN STABILITAS, TANTANGAN BARU PEMERINTAH YAMAN

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 16/7 (ANTARA) - Setelah berhasil "memadamkan" gerakan separatis Yaman Selatan, tantangan yang kini dihadapi oleh pemerintah di Sanaa ialah pemulihan stabilitas di bagian selatan negeri itu terutama di bekas ibukota Republik Demokratik Yaman (YDR), Aden.

Duta Besar Yaman di Jakarta Mohammed Abdulaziz Sallam dalam wawancara dengan ANTARA di Jakarta mengatakan, Pemerintah Yaman Bersatu pimpinan Presiden Ali Abdullah Saleh mulai merintis upaya pemulihan keadaan di bagian selatan negeri itu, antara lain dengan penetapan Gubernur Aden dan Hadhramaut.

Para utusan pemerintah yang berpusat di Sanaa mulai mengadakan pertemuan hari Rabu (13/7) di Aden guna membahas segala cara untuk memulihkan ketenangan serta memperkirakan kerugian akibat perang yang berkecamuk selama dua bulan di negara tersebut.

Saleh juga mengirim beberapa menterinya guna menilai semua kebutuhan, memulihkan hukum dan ketenangan serta memulai pembangunan.

Tetapi, kata Dubes Yaman di Jakarta, upaya untuk memperbaiki sarana dan prasarana di wilayah selatan membutuhkan waktu dan tidak mudah, terutama mengingat situasi di Aden saat ini.

Sementara itu, kantor-kantor berita transnasional pada hari yang sama melaporkan bahwa penjarahan pasca-perang membuat Aden "jadi telanjang", kegiatan layanan masyarakat macet, kegiatan rumah sakit terhenti, dan banyak orang mencari air serta makanan.

Selain itu, sumur yang rusak akibat perang belum diperbaiki dan makanan pun masih sulit ditemukan. Saluran telefon dan listrik masih terputus di sebagian besar kota tersebut, dan pemasokan bahan bakar sangat minim.

Sallam menuduh pasukan bekas Wakil Presiden Yaman bersatu Ali Salem Al-Baidh, yang dipecat Saleh tak lama setelah perang meletus dan memimpin gerakan separatis wilayah selatan, telah meledakkan sumur-sumur itu dan menuduh pihak Utara sebagai pelakunya. "Tujuannya ialah untuk menarik simpati dan dukungan rakyat di wilayah tersebut," kata Sallam.

Sebelumnya, Al-Baidh justru menuduh pasukan Sanaa menghancurkan sumber-sumber air bersih yang sangat dibutuhkan penduduk Aden.

Penduduk Aden telah membengkak dari 350.000 sebelum perang menjadi hampir 500.000 orang selama perang berkecamuk.

Komite Palang Merah Internasional menyatakan sedang memperbaiki saluran air bersih dan membutuhkan bantuan kerjasama Pemerintah Yaman di kota yang saat ini dilanda huruhara tersebut. Akibat minimnya persediaan air buat penduduk Aden, banyak dokter dilaporkan merasa khawatir bahwa wabah kolera akan segera menyebar.

Melawan rakyat?

Oleh karena menentang kehendak rakyat, gerakan separatis YDR gagal meskipun memperoleh bantuan finansial dan militer dari negara-negara asing lewat lobi yang dilakukan bekas Perdana Menteri Yaman Bersatu Haidar Abu Bakr Al-Attas dan beberapa "bekas menteri YDR" yang saat ini telah meninggalkan Yaman.

Ketika didesak negara-negara mana yang mendukung dan membantu gerakan separatis di bawah pimpinan Al-Baidh, Duta Besar Yaman itu hanya berkara: "Saya kira semua orang sudah tahu negara mana yang membantu gerakan tersebut. Ada banyak negara."

Selama perang saudara berkecamuk di Yaman, lima anggota Dewan Kerjasama Teluk (GCC) --selain Qatar-- secara implisit mendukung gerakan pemisahan diri YDR. GCC terdiri atas Arab Saudi, Kuwait, Oman, Uni Emirat Arab, Bahrain dan Qatar.

Namun, Sallam berharap negara-negara itu menyadari bahwa mereka semua adalah negara Islam dan Arab, dan mendukung Presiden Yaman Bersatu mempertahankan penyatuan.

"Sebab," tambahnya: "Persatuan mengandung kekuatan, bukan hanya buat negara Yaman, tapi buat seluruh Teluk secara keseluruhan."

Persatuan juga tidak hanya dipertahankan oleh Presiden Yaman Bersatu. "Tetapi, oleh seluruh rakyat negeri itu baik dari provinsi utara maupun selatan," katanya.

Ia menambahkan, "Tahukah anda, ada 12 brigade 'provinsi' selatan yang bergabung dalam militer persatuan dan menentang kelompok Al-Baidh?"

Jadi, katanya, yang terjadi sebenarnya bukan perang utara melawan selatan, tapi rakyat Yaman dan pasukan pemerintah melawan "pemberontak".

"Tekad rakyat Yaman lah untuk bergabung dalam penyatuan kembali, karena sudah sejak awal --mulai zaman Ratu Sheeba sampai zaman Islam-- cuma terdapat satu Yaman sampai pasukan Inggris datang pada Perang Dunia I dan membagi negeri itu menjadi dua," katanya.

Ketika ditanya apakah sumber kegagalan gerakan Al-Baidh karena 12 brigadenya tidak memberi dukungan dan ikut bertempur bersamanya, Sallam menjawab: "Bukan masalah ke-12 brigade tersebut, tapi karena seluruh rakyat Yaman menentang gerakan itu."

Kegagalan Al-Baidh, menurut dia, "Karena ia menghadapi penentangan seluruh rakyat Yaman."

Pemulihan ekonomi

Apapun penyebab kegagalan gerakan separatis Al-Baidh tidak mengubah keadaan bahwa pemerintah di Sanaa saat ini menghadapi tugas tak ringan untuk memulihkan kondisi ekonomi yang kacau akibat perang saudara yang baru lalu.

Sallam, ketika menanggapi masalah tersebut, optimistis bahwa pemerintah di Sanaa akan dapat "mengatasi dalam waktu cepat".

"Jika keadaan telah stabil, semua perusahaan akan dapat segera melanjutkan kembali kegiatan mereka," katanya.

Para penanam modal asing pun dapat melakukan kegiatan mereka lagi, tambahnya.

Sebelum perang meletus terdapat 28 perusahaan asing yang menanam modal di sektor perminyakan Yaman, kata Sallam tanpa memberi rincian.

Selama perang berkecamuk hasil minyak negeri tersebut dilaporkan tidak mengalami gangguan berarti. Hasil minyak Yaman kala itu sebanyak 340.000 barel per hari, dari sumur-sumur minyak utama seperti daerah Masila dan Shabwa di bagian selatan dan Marib di utara negeri itu.

Selain minyak Yaman juga memiliki sumber pemasukan dari hasil ekspor sayur, ikan, dan kopi ke Eropa serta Amerika Serikat.

Oleh karena itu, kata Sallam, segera setelah keadaan stabil pemerintah di Sanaa dapat memusatkan perhatian pada perbaikan sarana dan prasarana negeri tersebut. (16/07/94 20:39)

Tidak ada komentar: