Jumat, 02 Mei 2008

PERTIKAIAN ANTAR-MUJAHIDIN TAK KUNJUNG REDA

Oleh Chaidar Abdullah

Jakarta, 17/4 (ANTARA) - Dua tahun setelah penggulingan pemerintah dukungan Uni Soviet di Kabul, pertikaian antar-Mujahidin tak kunjung reda sehingga mengancam dihentikannya bantuan keuangan ke Afghanistan.

Bekas Presiden Najibullah meletakkan jabatan 16 April 1992 setelah 14 tahun menghadapi pertempuran melawan kelompok Mujahidin, tetapi pejuang Afghanistan -- yang semula melancarkan Jihad (perang suci) melawan pendudukan Uni Soviet -- terus saling bunuh antara mereka.

Meski berbagai upaya dilakukan oleh negara-negara tetangganya, Organisasi Konferensi Islam (OIC), dan belakangan PBB, pertempuran antar-Mujahidin tersebut makin sengit dan bahkan mulai merembes ke provinsi-provinsi yang dulu tak terjamah pertumpahan darah.

Hari Sabtu (16/4), tepat dua tahun setelah tergulingnya Najibullah, markas Palang Merah Internasional (ICRC) menjadi sasaran tiga serangan artileri berat.

Dalam perkembangan paling akhir di negeri itu, rakyat Afghanistan dilaporkan menghendaki pemerintah baru untuk mengakhiri pertumpahan darah di ibukota, Kabul.

Kabul sendiri telah terpecah dan pertempuran dari rumah ke rumah untuk berebut kekuasaan di ibukota Afghanistan tersebut dilaporkan sering berkecamuk.

Pasukan Hezb-I-Islami pimpinan Perdana Menteri Gulbuddin Hekmatyar membombardir kota itu dari pangkalannya di selatan Kabul, sementara musuh bebuyutannya, bekas Menteri Pertahanan Ahmed Shah Massoud, melancarkan serangan balasan dari dua bukit di pusat kota.

Pertempuran antar-faksi Mujahidin sejak April 1992 diperkirakan telah merenggut lebih dari 10.000 jiwa.

Mujahidin Afghanistan saat ini, bagi rakyat Afghanistan, ternyata tidak lebih baik dari pemerintah Najibullah dan hanya menghancurkan negeri itu justru setelah berjuang selama 14 tahun untuk menggulingkan pemerintah yang dianggap lalim.

Sejak Januari tahun ini, pertempuran antara faksi Hekmatyar -- yang kini beraliansi dengan gembong oportunis dari bagian utara negeri tersebut, Jenderal Rashid Dostum -- seringkali berkecamuk dengan kelompok Massoud, orang kuat militer Presiden Burhanuddin Rabbani, di pusat kota Kabul.

Setelah Najibullah terguling, Dostum -- yang membelot dari militer Najibullah ke Mujahidin beberapa bulan sebelum penggulingan -- bergabung dengan faksi Jamiat-I-Islami pimpinan Rabbani dan menggempur pasukan Hekmatyar.

Gembong milisi Afghanistan Utara tersebut -- yang semula diminta meninggalkan Kabul oleh Hekmatyar -- belakangan malah bergabung dengan Perdana Menteri Afghanistan itu.

Meskipun pertumpahan darah terus berkecamuk dan menghalangi upaya membangun kembali negeri tersebut, kesalahan tidak semuanya terletak pada Mujahidin, demikian pendapat wartawati setempat yang dikutip kantor berita Perancis AFP.

Bekas pasukan komunis, anggota polisi rahasia pemerintah Najibullah, serta ribuan penjahat yang dibebaskan dari penjara di negeri itu telah menyusup ke dalam tubuh faksi Mujahidin dan mendiskreditkan mereka, sedangkan kaum Mujahidin "sejati" lebih suka kembali ke kampung mereka dan bertani.

Pemerintah baru

Sementara itu, misi pencari fakta PBB, dari hasil wawancaranya dengan ratusan rakyat Afghanistan, melaporkan sebagian besar orang yang diwawancarai menghendaki pemerintah sementara baru yang netral tanpa melibatkan anggota faksi Mujahidin manapun.

Untuk memilih anggota pemerintahan itu, rakyat Afghanistan minta PBB menghidupkan kembali Loya Jirga atau Majelis Agung, yang akan mewakili semua rakyat Afghanistan, dan bukan hanya kelompok bersenjata yang saling berebut kekuasaan di Kabul.

Mereka menyarankan agar pemerintah sementara tersebut memerintah selama satu atau dua tahun sebelum pemilihan umum diselenggarakan.

Sebagian rakyat Afghanistan yang diwawancarai misi PBB itu bahkan menyarankan diberikannya peran kepada bekas Raja Afghanistan Zahir Shah, yang sekarang tinggal di Roma.

Namun peran tersebut bukan sebagai raja, tetapi sebagai "tokoh pengayom".

Meski demikian, menurut misi PBB itu, belum ada keputusan yang diambil.

Tahun lalu, bekas Presiden sementara Afghanistan Sibghatullah Mojaddedi berusaha mewujudkan perdamaian di antara rekannya sesama pejuang Mujahidin dengan seruan bagi penyelenggaraan pertemuan Dewan Syura, majelis tradisional di Afghanistan.

Tetapi pertemuan tersebut tidak menghasilkan perujukan dan bahkan persetujuan gencatan senjata yang dicapai Mei tahun lalu justru dilanggar kurang dari 24 jam setelah ditandatangani.

Cahaya perdamaian yang sempat mencuat ketika dicapainya persetujuan perdamaian yang diperantarai Pakistan, Arab Saudi, dan Iran itu akhirnya pudar kembali dan pertumpahan darah berlangsung terus.

Dilucuti?

Akibat pertumpahan antar-Mujahidin tersebut, bekas Menteri Luar Negeri Tunisia Mahmoud Mestiri -- yang memimpin misi pencari fakta PBB itu -- berpendapat "salah satu misinya" adalah penghentian bantuan keuangan dari luar jika misi yang diembannya ingin berhasil.

Tetapi ia tidak menyebutkan asal uang itu atau apakah yang mesti dilakukan PBB untuk mewujudkan keinginannya. Negara-negara Arab konservatif dan kelompok fanatik telah menyediakan dana bagi Mujahidin Afghanistan selama 14 tahun pertempuran melawan Najibullah.

Menurut Mestiri, faksi-faksi Mujahidin tampaknya masih memperoleh bantuan uang dan senjata sehingga mereka dapat terus berlomba memperebutkan kekuasaan tetapi mereka tak dapat bertempur selama-lamanya.

Pada saatnya, kata Mestiri, senjata Mujahidin Afghanistan harus dilucuti, terutama senjata berat, dan "ini harus dilaksanakan cepat atau lambat".

Di Kabul, juru bicara Rabbani, Abdul Aziz Morad, berpendapat, Hekmatyar "hanya akan menerima baik gencatan senjata kalau amunisinya sudah habis."

Pertikaian saat ini sebenarnya berpangkal dari tak-adanya kesepakatan antara Hekmatyar dan Rabbani. Hekmatyar menuntut pengunduran diri Rabbani sebagai satu- satunya cara untuk mengakhiri pertumpahan darah, tetapi Rabbani berkeras tak mau mundur. (17/04/94 10:17)

Tidak ada komentar: